Kamis, 07 April 2011

Pertarungan di Piring Nasi

Oleh : Budi Suwarna
Kompas Minggu, 13 Maret 2011


Apa yang terjadi jika kita kehilangan makanan ibu—makanan yang secara tradisi diturunkan dan kita kenal sejak kecil? Kita akan kehilangan sebagian kemanusiaan kita, begitu keyakinan Prof Murdijati Gardjito (69,foto).

Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini, makanan tidak hanya terkait masalah perut, tetapi terutama budaya.

”Makanan terkait perilaku dan gaya hidup. Kalau makanannya berubah, perilakunya juga berubah sesuai lingkungan yang dominan,” tegas Murdijati, Senin (21/2) siang di Gedung Pusat Antar Universitas UGM.

Rangkaian pekerjaan di dapur antara orang yang memakan jagung, nasi, dan ubi saja sudah berbeda. Cara memasak juga berbeda. Semua itu membentuk budaya masak yang khas, yang membedakan antara budaya masak bertungku dan budaya masak memakai kompor, gas, serta listrik.

Hasil beberapa jenis masakan ibu memiliki makna filosofi khusus yang diperlukan dalam beberapa ritual. Tumpeng, misalnya, bagian puncaknya menyimbolkan hubungan manusia dengan Tuhan, sayuran di sekeliling tumpeng menggambarkan banyaknya masalah di dunia, kacang panjang menyimbolkan usia panjang, kangkung lika-liku hidup.

Pada beberapa keluarga, tata cara makan urut awu, artinya berurutan mulai dari ayah, lalu ibu, anak paling tua, hingga akhirnya anak paling muda. Terlepas dari asumsi budaya patriarkal, tata cara makan itu, menurut Murdijati, mengajarkan toleransi dan tenggang rasa sejak di meja makan.

”Orang diajari sabar, mau memikirkan kepentingan orang lain, dan tidak main serobot,” ujarnya.

Dia sangat prihatin karena generasi sekarang tidak tahu lagi aspek budaya pada makanan ibunya. Mereka tidak lagi merasakan kebersamaan ibu dan ayah mereka di dapur sebab ayah dan ibu sibuk bekerja, tak punya banyak waktu buat keluarga. Tidak ada lagi yang menanamkan kebajikan seperti toleransi, tenggang rasa, dan kebersamaan di meja makan, yang menjadi cermin hal serupa di dalam masyarakat.

”Jadi, jangan heran kalau toleransi dan tenggang rasa makin berkurang. Orang main serobot di mana-mana,” tambah Murdijati.

Pemodal besar yang membaca perubahan gaya hidup di dalam rumah kemudian menawarkan makanan instan. Dengan iklan yang gencar, makanan instan menjadi pilihan utama konsumen. Makanan ibu makin terlupakan.

Apa yang akan terjadi kemudian? Ketika kita melupakan makanan ibu, sebenarnya kita sedang membiarkan diri kita tercerabut dari akar budaya sendiri. ”Kita asing dengan diri sendiri sebab apa yang kita miliki sekarang (termasuk makanan) adalah hasil meniru kebudayaan orang lain,” ujar Murdijati.

Tersapu makanan instan. Murdijati yang aktif di Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM sejak 1998 memperkirakan, 60 persen makanan ibu atau makanan tradisional Indonesia sudah sulit ditemukan dan ditelusuri jejaknya—untuk tidak mengatakan punah. Dari kajian Murdijati, makanan tradisional satu per satu hilang setelah gencarnya kampanye makan mi instan di berbagai media.

”Mi instan menyapu bersih semua makanan (ibu) yang ada sebab makanan itu dicitrakan praktis, modern, dan seolah-olah murah. Sekarang bisa dicek, 95 persen rumah tangga (di Indonesia) menyimpan mi instan,” tambah Murdijati.

Hantaman terhadap makanan tradisional juga datang dari makanan cepat saji , dengan ”busana” lebih mentereng, modern, dan berkelas sehingga menyilaukan mata. ”Sekarang, kita bangga makan di restoran fast food di mal. Kita merasa modern dengan makan di sana, padahal gizi fast food tidak seimbang,” ujar Murdijati.

Nah, ketika makanan tradisional hilang, komoditas yang menunjangnya pun terabaikan. Murdijati memberikan contoh, 14 dari 24 jenis umbi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang punah karena tidak ada yang mengonsumsi dan mengembangkannya.

Komoditas tersebut makin kurang dilirik seturut ”politik beras” yang diusung Orde Baru terlalu menyederhanakan masalah. Menurut Murdijati, ”Yang dipikir hanya produksi beras, tetapi tidak memikirkan pendidikan konsumen.”

Ketika beras melimpah, semua orang dari Sabang sampai Merauke mengonsumsi beras, termasuk yang sebelumnya makan ubi, singkong, dan sagu. ”Apalagi orang yang makan nasi dianggap status sosialnya tinggi.”

Konsumsi beras kita, lanjut Murdijati, sudah berlebihan. Kita mengonsumsi 139,15 kilogram beras per kapita per tahun. Padahal dunia hanya merekomendasikan 60 kilogram.

Situasi itu menimbulkan problem di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kalaupun produksi beras digenjot, tidak akan mampu mengejar pertambahan jumlah penduduk. Akhirnya beras jadi mahal dan sulit diakses penduduk miskin.

Bayang-bayang krisis pangan, lanjut Murdijati, didengungkan orang hampir setiap hari. Namun, menurut dia, tingkat ketersediaan pangan kita sebenarnya cukup dan bervariasi, asal tidak terpaku hanya mengonsumsi beras.

Potensi umbi alam di Provinsi DIY, misalnya, cukup untuk memberi makan 72 persen dari 3 juta penduduk seandainya mereka sehari tidak makan nasi. Jika umbi dikembangkan secara intensif, bisa memberi makan 79 persen penduduk. Jika dikembangkan secara intensif dan ekstensif, bisa memberi makan 89 persen penduduk.

”Itu tanpa upaya keras lho karena sudah ada di alam, tetapi tidak pernah diumumkan karena pemerintah tidak punya data. Yang punya data, kami di pusat- pusat studi pangan,” katanya.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada kekurangan pangan atau kelaparan di Indonesia. Persoalannya, orang sudah telanjur bergantung pada beras yang harganya kian mahal dibandingkan sumber karbohidrat lain.

Pertarungan. Murdijati berpendapat, jika serius ingin menjaga ketahanan pangan, pemerintah harus segera mendata makanan ibu dan komoditas penunjangnya. Setelah semua data dari seluruh Indonesia itu diintegrasikan, baru bisa dibuat strategi pangan berbasis kekayaan alam sendiri.

Dalam konteks ini, posisi makanan ibu dan semua komoditas penunjangnya menjadi sangat penting karena menjadi bagian program jangka panjang (roadmap) pengembangan produk makanan baru yang bisa diterima luas. ”Kalau bicara ketahanan pangan sekadar bicara beras, itu omong kosong. Beras tetap harus surplus, tetapi orang tidak perlu semuanya makan nasi,” ujar Murdijati.

Selain itu, perlu menanamkan kesadaran soal makanan agar masyarakat tidak mudah termakan iklan makanan instan dan cepat saji produksi kapitalis global, yang umumnya hanya memikirkan kepentingan bisnis. Menurut Murdijati, jika kita gagal memberikan pemahaman itu, kita akan kian terjebak dalam situasi yang sulit: bergantung pada produsen makanan global, terutama fast food.

Murdijati menganjurkan agar penyadaran soal makanan ditanamkan lagi lewat keluarga. ”Keluarga sebaiknya menghidupkan lagi makanan tradisional sebab memasak dan mengonsumsi makanan di rumah akan membangun kebahagiaan dan kebajikan yang semakin hilang.”

Seruan seperti itu selaras dengan gerakan slow food yang belakangan muncul.

”Gerakan ini (slow food) merupakan antitesis fast food. Jadi, serba berlawanan. Fast food berbasis modal besar melawan slow food yang berbasis konsumen,” katanya.

Slow food yang berlambang keong nan lamban berlawanan dengan fast food yang mengusung kecepatan dan percepatan semu, yang hanya menguntungkan kapitalisme global. Gerakan slow food sudah tiga kali mengadakan konferensi dunia di Milan, Italia.

Seruannya, antara lain, makanan yang masuk ke dalam tubuh harus diketahui asal-usulnya; makanan harus dimasak dengan cara-cara yang diketahui dan bahan-bahannya diyakini tidak mengandung zat berbahaya; memberikan penghargaan kepada orang yang memasak hidangan yang kita makan; masyarakat/institusi semestinya punya kebun atau kantin untuk memasak makanan sehingga semuanya terkendali.

”Generasi nenek harus kembali ke dapur untuk mengajari cucunya memasak karena generasi ibu dan bapak sekarang telah kehilangan orientasi di dapur lantaran sibuk berkarier di luar rumah,” imbau Murdijati.

Gerakan slow food yang berbasis pada makanan ibu terutama dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar konsumen terhadap produsen makanan global yang selama ini menjajah selera konsumen.

”Jadi, ini gerakan politis,” tegas Murdijati.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/13/0449265/pertarungan.di.piring.nasi

2 komentar:

  1. wah salut ibu, saya perlu banyak referensi di pusat study UGM agar bisa ketemu ibu, pak maksoem, dan para pakar lainnya. Kami baru mulai akhir tahun 2011 ini KULONPROGO SADAR UMBI-UMBIan. Mohon doa restunya. Kami Nur Aini (34)

    BalasHapus
  2. Terima kasih, mBak Nur Aini yang sudah berbaik hati, dari Kulon Progo untuk menyambangi blog kami yang diluncurkan dari Wonogiri ini. Semoga gerakan Kulon Progo Sadar Umbi-Umbian akan bergaung lebih nyaring dan memberikan makna bagi warga Kulon Progo, syukur-syukur menginspirasi warga Indonesia lainnya. Semoga Anda dapat bertemu dengan Ibu Murdijati Gardjito untuk memperoleh dorongan dan wawasan yang lebih luas. Kabar-kabarnya, saya nantikan lho. Saya ingin memajangnya di blog ini pula. Salam dan sukses selalu untuk mBak Nur Aini dan kawan-kawan.

    BalasHapus