Jumat, 22 April 2011

Wisata, Ya Berusaha

Oleh : Ratih Prahesti Sudarsono dan Neli Triana
Harian Kompas, Sabtu, 23 April 2011


Selain sekadar mengisi hari libur, banyak keuntungan yang bisa didapat dari bermain ke tempat-tempat agrowisata. Pelatihan bercocok tanam dengan cara mudah dan tidak perlu lahan luas ini pasti bisa langsung dipraktikkan dengan mudah di rumah, sepulang dari jalan-jalan.

Bahkan, keterampilan baru yang didapat dari jalan-jalan ini juga bisa menjadi modal untuk membuka usaha baru di rumah.

Saat berada di Parung Farm, pengunjung tidak hanya diajari cara bertanam, tetapi juga diberi pengetahuan tentang hitung-hitungan ekonomis seandainya mau lebih jauh menjadikan hidroponik sebagai usaha rumahan.

”Hasil produksi pohon cabai, tomat, atau selada bisa dijual di lingkungan tetangga, atau benar-benar membuka perkebunan sayuran hidroponik,” kata Agus Sunaryanto, sarjana ekonomi dan praktisi pertanian, yang mengantar pengunjung keliling Parung Farm.

Parung Farm juga menjual berbagai perangkat peralatan untuk memulai menanam secara hidroponik. Yang sudah pernah menjalani pelatihan tetapi belum juga berhasil mempraktikkannya di rumah boleh kembali ke Parung Farm untuk menimba ilmu lagi. Mereka memberi garansi.

Meminta bantuan teknisi Parung Farm datang ke rumah untuk memeriksa kebun hidroponik milik kita yang sedang bermasalah pun mereka layani dengan senang hati. Konsultasi dengan para ahli tanaman juga disediakan bagi pengunjung di Pasirmukti dan Tanah Tingal.

Ketiga pengelola tempat wisata itu memang memiliki prinsip berbagi ilmu dan mengampanyekan hobi bertanam. Mewabahkan hobi bertanam secara mudah dan menyenangkan ini sekaligus untuk menularkan kesadaran agar melestarikan tanaman-tanaman khas Indonesia atau tanaman yang sudah langka. Tanah Tingal, misalnya, memiliki moto ”konservasi demi kelestarian hidup”.

”Iya, (dengan hidroponik) kita jadi tidak perlu mencangkul tanah. Menyiram pun tidak perlu kalau sekaligus dibuat sistem penyiraman otomatis. Kita tinggal memberi pupuk yang tepat dan mengamati pertumbuhannya. Buat usia seperti saya, tentu enak, tidak harus keluar tenaga banyak dan tetap bersih saat berkebun,” kata Susilo (56), warga Depok yang ditemui saat mengikuti pelatihan di Parung Farm, Kamis (21/4).

Susilo juga merasa, berkebun itu sangat menenteramkan hati dan menyegarkan kehidupan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/03534570/wisata.ya.berusaha

Belajar Berkebun Yuk...

Oleh : Ratih Prahesti Sudarsono dan Neli Triana
Harian Kompas, Sabtu, 23 April 2011


Bingung mencari celah berlibur di akhir pekan yang cukup panjang tanpa harus terjebak macet atau menjadi boros? Coba berkebun saja, yuk. Tempat wisata yang bisa dikategorikan agrowisata ini banyak berlokasi di seputar Jakarta dan Bogor. Yang pasti, berkebun kali ini juga tak harus berkotor-kotor.

Beberapa tempat yang menarik dikunjungi, antara lain, Parung Farm di Jalan Raya Parung, Bogor; Pasirmukti di Citeureup, Bogor; atau di Tanah Tingal di Desa Sawah Baru, Jombang, Ciputat, Tangerang.

Kebun Hidroponik Parung 546 atau Parung Farm mudah dicapai, tidak sampai satu jam bermobil dari Pintu Tol Bogor Outer Ring Road di Kedung Halang, Kota Bogor.

Produk sayur dari Parung Farm mudah ditemukan di supermarket di Jakarta dan sekitarnya. Tempat ini juga dikenal sebagai kebun hidroponik terbesar di Indonesia.

Di Parung Farm, pengunjung bisa cuci mata melihat kebun sayur-mayur yang luas sekaligus belajar teknik berkebun bagi yang punya pekarangan terbatas. ”Kami di sini memang memberi pelatihan urban farming, khususnya hidroponik, dirtless gardening alias berkebun tanpa kotoran. Sebab, media tanamnya air, bukan tanah,” kata Ir Agus Waluyo, salah seorang instruktur di Parung Farm.

Mendengar kata pelatihan, jangan dulu berkecil hati. Di sana, tidak ada ruang kelas tertutup dan pelatihan membosankan. Yang tersedia, pendapa terbuka sehingga dapat melihat aktivitas para pekerja kebun dan menikmati semilir angin. Berada di sana tidak hanya diberi teori, tetapi juga praktik langsung.

Apa cocok untuk wisata anak-anak, remaja, dan orang tua? Tentu saja. Kalau hanya datang berdua bisa langsung ke lokasi. Namun, jika mengajak keluarga besar atau rombongan, lebih baik membuat janji dulu.

Dikarenakan tujuan ke Parung Farm berekreasi, sudah pasti pengelola juga menyediakan fasilitas bersenang-senang. Namun, permainan yang disediakan, memperkenalkan tumbuhan dan cara berkebun yang menyenangkan, unik, serta dijamin beda dari biasanya.

Biayanya Rp 5.000 per orang untuk anak TK dan Rp 10.000 untuk anak SD. Biaya untuk anak SMP dan SMA masing-masing Rp 15.000 dan Rp 20.000 per orang. Biaya untuk pengunjung umum Rp 25.000 per orang. Waktu ”bermainnya” adalah 2-3 jam.

Dengan biaya tersebut, pengunjung bisa mengarungi kawasan kebun seluas 3,5 hektar. Di beberapa tempat, terdapat hamparan sayuran segar, jamur merang, kolam ikan nila, kebun anggrek, kolam ikan, bengkel membuat pot hidroponik, dan percontohan kebun konvensional (di tanah), seperti singkong, cabai, terong. Saat pulang, bibit yang ditanam secara hidroponik di gelas plastik kecil pun diberikan gratis.

Yang ingin pelatihan mendalam dikenai biaya Rp 750.000 per orang, memakan waktu hampir satu hari penuh. Penginapan juga tersedia, Rp 750.000 per malam, berupa rumah kayu. ”Kalau menginap, makannya bisa masak sendiri karena ada dapur, tapi mau pesan juga bisa,” kata Sudibyo Karsono, pengelola Parung Farm.

”Outbound” dan bersepeda

Selain Parung Farm, ada juga Kebun Wisata Pasirmukti dan Tanah Tingal.

Pasirmukti bahkan dilengkapi dengan fasilitas outbound serta penawaran paket-paket wisata bagi anak-anak ataupun anak dengan kebutuhan khusus, juga seminar.

Pasirmukti tepatnya berada di Jalan Raya Tajur Pasirmukti Kilometer 4 Citeureup, Bogor. Dari Tol Jagorawi, ambil Pintu Tol Cibinong-Citeureup, belok kiri, dan setelah itu tinggal mengikuti papan petunjuk. Waktu tempuh sekitar 45 menit dari Jakarta.

Tiket masuk Rp 15.000 per orang. Di sini juga tersedia lahan kamping sampai flying fox melintasi sungai. Di hamparan kebun yang luas, ada juga tempat khusus untuk pengembangan anggrek, tanaman buah, dan berbagai jenis tumbuhan. Ada juga demo gratis perawatan anggrek. Mau menginap di sini pun ada pondok-pondok cantik dan nyaman.

Tanah Tingal pun lebih kurang sama. Bedanya, di tempat wisata yang diprakarsai almarhum Boediardjo, mantan menteri penerangan pada masa Soeharto, ini juga terdapat jalur sepeda.

Tanah Tingal berada di Jalan Merpati Raya, Desa Sawah Baru, Jombang, Ciputat. Di lahan seluas 9 hektar ini segala pernak-pernik kebutuhan hobi tanaman tersedia.

Duh, asyiknya main di lahan penuh pohon, dan yang pasti udaranya juga sangat segar. Yuk, segera berangkat.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/03530784/belajar.berkebun.yuk...

Minggu, 10 April 2011

TNI Pun Peduli Ketahanan Pangan

Kompas, Senin,11 April 2011


Apa hubungan militer dengan ketahanan pangan?
Secara langsung memang tidak ada.

Namun, seseorang bisa membela negerinya jika perutnya terisi. Karena itu, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat merasa perlu untuk terlibat dalam urusan ketahanan pangan itu.

Dan, TNI AD menggandeng Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk mendorong swasembada pangan sebagai bagian dari strategi membangun ketahanan nasional. Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI George Toisutta di Jakarta hari Jumat (8/4) menjelaskan, TNI AD bersinergi dengan HKTI untuk mendampingi petani serta memanfaatkan lahan milik TNI AD yang belum dimanfaatkan.

”Ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional dan menjalankan fungsi pembinaan teritorial. Prajurit akan diberi pelatihan pertanian dan peternakan oleh HKTI. Pada gilirannya, mereka akan membantu masyarakat,” ujar Toisutta.

Dia mengatakan, Indonesia kaya potensi pertanian dan kelautan, tetapi tidak dikelola dengan baik. Bahkan, bidang pertanian tidak dianggap sebagai pekerjaan bergengsi. Jumlah personel TNI AD yang lebih dari 300.000 orang dapat menjadi potensi strategis membangun ketahanan pangan.

Ketua Umum HKTI Oesman Sapta Odang menjelaskan, Indonesia masih mengimpor bahan pangan pertanian, hasil laut, dan produk olahan sebesar Rp 110 triliun per tahun.

”Bahan pangan seperti kedelai, susu, dan buah masih diimpor dalam jumlah besar. Kalau sepertiga dana impor itu digunakan untuk membangun pertanian, perkebunan, dan perikanan, kita dapat menciptakan kemandirian pangan dalam waktu lima tahun,” ujar Oesman Sapta.

Oesman Sapta menerangkan, kerja sama HKTI dan TNI AD sudah dijalankan di sejumlah wilayah. Membangun swasembada pangan adalah tugas penting di masa damai bagi HKTI dan TNI. Apalagi, 70 persen masyarakat Indonesia masih hidup di sektor pertanian. Toisutta pun mendukungnya. (ong)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/11/02515613/tni.pun.peduli.ketahanan.pangan

Kamis, 07 April 2011

Pertarungan di Piring Nasi

Oleh : Budi Suwarna
Kompas Minggu, 13 Maret 2011


Apa yang terjadi jika kita kehilangan makanan ibu—makanan yang secara tradisi diturunkan dan kita kenal sejak kecil? Kita akan kehilangan sebagian kemanusiaan kita, begitu keyakinan Prof Murdijati Gardjito (69,foto).

Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini, makanan tidak hanya terkait masalah perut, tetapi terutama budaya.

”Makanan terkait perilaku dan gaya hidup. Kalau makanannya berubah, perilakunya juga berubah sesuai lingkungan yang dominan,” tegas Murdijati, Senin (21/2) siang di Gedung Pusat Antar Universitas UGM.

Rangkaian pekerjaan di dapur antara orang yang memakan jagung, nasi, dan ubi saja sudah berbeda. Cara memasak juga berbeda. Semua itu membentuk budaya masak yang khas, yang membedakan antara budaya masak bertungku dan budaya masak memakai kompor, gas, serta listrik.

Hasil beberapa jenis masakan ibu memiliki makna filosofi khusus yang diperlukan dalam beberapa ritual. Tumpeng, misalnya, bagian puncaknya menyimbolkan hubungan manusia dengan Tuhan, sayuran di sekeliling tumpeng menggambarkan banyaknya masalah di dunia, kacang panjang menyimbolkan usia panjang, kangkung lika-liku hidup.

Pada beberapa keluarga, tata cara makan urut awu, artinya berurutan mulai dari ayah, lalu ibu, anak paling tua, hingga akhirnya anak paling muda. Terlepas dari asumsi budaya patriarkal, tata cara makan itu, menurut Murdijati, mengajarkan toleransi dan tenggang rasa sejak di meja makan.

”Orang diajari sabar, mau memikirkan kepentingan orang lain, dan tidak main serobot,” ujarnya.

Dia sangat prihatin karena generasi sekarang tidak tahu lagi aspek budaya pada makanan ibunya. Mereka tidak lagi merasakan kebersamaan ibu dan ayah mereka di dapur sebab ayah dan ibu sibuk bekerja, tak punya banyak waktu buat keluarga. Tidak ada lagi yang menanamkan kebajikan seperti toleransi, tenggang rasa, dan kebersamaan di meja makan, yang menjadi cermin hal serupa di dalam masyarakat.

”Jadi, jangan heran kalau toleransi dan tenggang rasa makin berkurang. Orang main serobot di mana-mana,” tambah Murdijati.

Pemodal besar yang membaca perubahan gaya hidup di dalam rumah kemudian menawarkan makanan instan. Dengan iklan yang gencar, makanan instan menjadi pilihan utama konsumen. Makanan ibu makin terlupakan.

Apa yang akan terjadi kemudian? Ketika kita melupakan makanan ibu, sebenarnya kita sedang membiarkan diri kita tercerabut dari akar budaya sendiri. ”Kita asing dengan diri sendiri sebab apa yang kita miliki sekarang (termasuk makanan) adalah hasil meniru kebudayaan orang lain,” ujar Murdijati.

Tersapu makanan instan. Murdijati yang aktif di Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM sejak 1998 memperkirakan, 60 persen makanan ibu atau makanan tradisional Indonesia sudah sulit ditemukan dan ditelusuri jejaknya—untuk tidak mengatakan punah. Dari kajian Murdijati, makanan tradisional satu per satu hilang setelah gencarnya kampanye makan mi instan di berbagai media.

”Mi instan menyapu bersih semua makanan (ibu) yang ada sebab makanan itu dicitrakan praktis, modern, dan seolah-olah murah. Sekarang bisa dicek, 95 persen rumah tangga (di Indonesia) menyimpan mi instan,” tambah Murdijati.

Hantaman terhadap makanan tradisional juga datang dari makanan cepat saji , dengan ”busana” lebih mentereng, modern, dan berkelas sehingga menyilaukan mata. ”Sekarang, kita bangga makan di restoran fast food di mal. Kita merasa modern dengan makan di sana, padahal gizi fast food tidak seimbang,” ujar Murdijati.

Nah, ketika makanan tradisional hilang, komoditas yang menunjangnya pun terabaikan. Murdijati memberikan contoh, 14 dari 24 jenis umbi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang punah karena tidak ada yang mengonsumsi dan mengembangkannya.

Komoditas tersebut makin kurang dilirik seturut ”politik beras” yang diusung Orde Baru terlalu menyederhanakan masalah. Menurut Murdijati, ”Yang dipikir hanya produksi beras, tetapi tidak memikirkan pendidikan konsumen.”

Ketika beras melimpah, semua orang dari Sabang sampai Merauke mengonsumsi beras, termasuk yang sebelumnya makan ubi, singkong, dan sagu. ”Apalagi orang yang makan nasi dianggap status sosialnya tinggi.”

Konsumsi beras kita, lanjut Murdijati, sudah berlebihan. Kita mengonsumsi 139,15 kilogram beras per kapita per tahun. Padahal dunia hanya merekomendasikan 60 kilogram.

Situasi itu menimbulkan problem di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kalaupun produksi beras digenjot, tidak akan mampu mengejar pertambahan jumlah penduduk. Akhirnya beras jadi mahal dan sulit diakses penduduk miskin.

Bayang-bayang krisis pangan, lanjut Murdijati, didengungkan orang hampir setiap hari. Namun, menurut dia, tingkat ketersediaan pangan kita sebenarnya cukup dan bervariasi, asal tidak terpaku hanya mengonsumsi beras.

Potensi umbi alam di Provinsi DIY, misalnya, cukup untuk memberi makan 72 persen dari 3 juta penduduk seandainya mereka sehari tidak makan nasi. Jika umbi dikembangkan secara intensif, bisa memberi makan 79 persen penduduk. Jika dikembangkan secara intensif dan ekstensif, bisa memberi makan 89 persen penduduk.

”Itu tanpa upaya keras lho karena sudah ada di alam, tetapi tidak pernah diumumkan karena pemerintah tidak punya data. Yang punya data, kami di pusat- pusat studi pangan,” katanya.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada kekurangan pangan atau kelaparan di Indonesia. Persoalannya, orang sudah telanjur bergantung pada beras yang harganya kian mahal dibandingkan sumber karbohidrat lain.

Pertarungan. Murdijati berpendapat, jika serius ingin menjaga ketahanan pangan, pemerintah harus segera mendata makanan ibu dan komoditas penunjangnya. Setelah semua data dari seluruh Indonesia itu diintegrasikan, baru bisa dibuat strategi pangan berbasis kekayaan alam sendiri.

Dalam konteks ini, posisi makanan ibu dan semua komoditas penunjangnya menjadi sangat penting karena menjadi bagian program jangka panjang (roadmap) pengembangan produk makanan baru yang bisa diterima luas. ”Kalau bicara ketahanan pangan sekadar bicara beras, itu omong kosong. Beras tetap harus surplus, tetapi orang tidak perlu semuanya makan nasi,” ujar Murdijati.

Selain itu, perlu menanamkan kesadaran soal makanan agar masyarakat tidak mudah termakan iklan makanan instan dan cepat saji produksi kapitalis global, yang umumnya hanya memikirkan kepentingan bisnis. Menurut Murdijati, jika kita gagal memberikan pemahaman itu, kita akan kian terjebak dalam situasi yang sulit: bergantung pada produsen makanan global, terutama fast food.

Murdijati menganjurkan agar penyadaran soal makanan ditanamkan lagi lewat keluarga. ”Keluarga sebaiknya menghidupkan lagi makanan tradisional sebab memasak dan mengonsumsi makanan di rumah akan membangun kebahagiaan dan kebajikan yang semakin hilang.”

Seruan seperti itu selaras dengan gerakan slow food yang belakangan muncul.

”Gerakan ini (slow food) merupakan antitesis fast food. Jadi, serba berlawanan. Fast food berbasis modal besar melawan slow food yang berbasis konsumen,” katanya.

Slow food yang berlambang keong nan lamban berlawanan dengan fast food yang mengusung kecepatan dan percepatan semu, yang hanya menguntungkan kapitalisme global. Gerakan slow food sudah tiga kali mengadakan konferensi dunia di Milan, Italia.

Seruannya, antara lain, makanan yang masuk ke dalam tubuh harus diketahui asal-usulnya; makanan harus dimasak dengan cara-cara yang diketahui dan bahan-bahannya diyakini tidak mengandung zat berbahaya; memberikan penghargaan kepada orang yang memasak hidangan yang kita makan; masyarakat/institusi semestinya punya kebun atau kantin untuk memasak makanan sehingga semuanya terkendali.

”Generasi nenek harus kembali ke dapur untuk mengajari cucunya memasak karena generasi ibu dan bapak sekarang telah kehilangan orientasi di dapur lantaran sibuk berkarier di luar rumah,” imbau Murdijati.

Gerakan slow food yang berbasis pada makanan ibu terutama dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar konsumen terhadap produsen makanan global yang selama ini menjajah selera konsumen.

”Jadi, ini gerakan politis,” tegas Murdijati.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/13/0449265/pertarungan.di.piring.nasi

Minggu, 03 April 2011

Sayur dalam Pot di Pesisir

Ahmad Arif
Kompas, Senin,4/4/2011


Perubahan iklim, yang hadir dalam bentuk intrusi air laut ke daratan, dirasakan warga Cangkring, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat. Jangankan tanaman padi, rumput pun sulit tumbuh di desa berbatas laut itu. Sebelum 1998, desa itu masih punya 400 hektar sawah.

Sebelum 1990-an, kami adalah petani,” kata Zaenudin, warga Cangkring. Perlahan, sawah-sawah mereka tergerus air laut.

Sawah berubah payau. Debit air tawar irigasi jauh lebih kecil dibanding aliran air laut ke darat. Panen padi terus merosot.

Karena itu, sejak 1998, warga desa tergoda mengalihkan lahan jadi tambak udang yang menjanjikan keuntungan tinggi. ”Semua sawah dijadikan tambak karena padi tak mungkin lagi ditanam,” kata Solikhin, Ketua Kelompok Tani Sekar Kedaton dari Cangkring.

Namun, usaha tambak udang hanya bertahan kurang dari lima tahun. Hasil tambak merosot karena berbagai penyakit. Areal tambak bekas sawah sebagian dibiarkan telantar. Kembali ke padi tak mungkin lagi.

Hamparan padi menguning tinggal cerita. Desa itu gersang dan meranggas. Satu-dua pohon kelapa dan pisang yang tumbuh daunnya kuning. Enggan berbuah. Bahkan, rumput hanya tumbuh di musim hujan. Hijau tanaman hanya bunga-bunga yang ditanam warga menggunakan pot, tanahnya dari desa tetangga.

”Bunga dalam pot itu menjadi ide kami mengajak warga menanam sayur dalam polybag plastik,” kata Masroni, Ketua Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Indramayu.

Sejak setahun lalu, IPPHTI Indramayu berupaya menghijaukan kembali Desa Cangkring. Tak mudah. Tanah di Cangkring terlalu asin. Air pasang yang sering merendam pekarangan warga membuat upaya menanam jadi mustahil.

”Kami mendatangkan tanah dari desa lain. Sayuran ditanam di polybag yang disusun di atas gundukan tanah agar bebas dari air pasang,” kata Masroni.

Upaya itu berhasil. Kini, aneka sayur, seperti cabai, terung, kacang panjang, hingga pare, tumbuh di pekarangan warga. ”Sudah bertahun-tahun kami tak makan sayur. Kini, kami bisa makan hasil tanaman sendiri,” kata Solikhin.

Intrusi air laut

Cerita tentang Cangkring layak jadi peringatan bagi pertanian kita, khususnya pertanian di pesisir Pulau Jawa yang rentan terdampak kenaikan muka air laut. Penelitian pakar bencana dari Universitas Gadjah Mada, Subiyakto, mengingatkan, perubahan iklim berupa naiknya muka air laut sudah hadir di Indonesia. Hal ini rentan menjadi bencana dalam skala masif.

”Perubahan iklim di Indonesia sudah sangat serius dampaknya. Diperlukan percepatan strategi mitigasi dan adaptasi berbasis kapasitas masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk mengurangi dampak,” kata Subiyakto, dalam pengukuhan sebagai guru besar, belum lama ini. Perubahan iklim paling gampang terlihat dari intrusi air asin ke daratan.

Subandono dalam bukunya, Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2009, memprediksi, kenaikan muka air laut di pantai utara Jawa mencapai 6-10 mm per tahun. Artinya, kota-kota di pesisir Pulau Jawa, seperti Pekalongan, 100 tahun mendatang akan tergenang air laut hingga 2,1 km dari garis pantai saat ini. Sementara itu, Kota Semarang akan tergenang sejauh 3,2 km dari garis pantai.

Eksperimen petani

Kustiwa Adinata, Koordinator Program IPPHTI Nasional, mengatakan, eksperimen di Cangkring hanya satu contoh upaya petani di jaringannya dalam menyiasati intrusi air laut. Mereka mencoba menanam dan menyilangkan varietas padi tahan asin di Desa Cantigi Kulon, masih di Indramayu.

Selain Indramayu, IPPHTI juga menggandeng sejumlah petani di Brebes, Cilacap, Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, hingga Palembang (Sumatera Selatan) dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara) untuk bertani di lahan asin.

”Dua tahun terakhir, kami mendampingi petani di Rawa Apu, Cilacap, kembali menggarap sawah yang ditinggalkan karena air asin. Menanam padi atau sayur di lahan asin dimungkinkan. Namun, kami harus terus bereksperimen. Tiap daerah, teknik dan benih yang cocok berbeda-beda,” kata Kustiwa.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/04/03434593/sayur.dalam.pot.di.pesisir.