Jumat, 22 April 2011

Wisata, Ya Berusaha

Oleh : Ratih Prahesti Sudarsono dan Neli Triana
Harian Kompas, Sabtu, 23 April 2011


Selain sekadar mengisi hari libur, banyak keuntungan yang bisa didapat dari bermain ke tempat-tempat agrowisata. Pelatihan bercocok tanam dengan cara mudah dan tidak perlu lahan luas ini pasti bisa langsung dipraktikkan dengan mudah di rumah, sepulang dari jalan-jalan.

Bahkan, keterampilan baru yang didapat dari jalan-jalan ini juga bisa menjadi modal untuk membuka usaha baru di rumah.

Saat berada di Parung Farm, pengunjung tidak hanya diajari cara bertanam, tetapi juga diberi pengetahuan tentang hitung-hitungan ekonomis seandainya mau lebih jauh menjadikan hidroponik sebagai usaha rumahan.

”Hasil produksi pohon cabai, tomat, atau selada bisa dijual di lingkungan tetangga, atau benar-benar membuka perkebunan sayuran hidroponik,” kata Agus Sunaryanto, sarjana ekonomi dan praktisi pertanian, yang mengantar pengunjung keliling Parung Farm.

Parung Farm juga menjual berbagai perangkat peralatan untuk memulai menanam secara hidroponik. Yang sudah pernah menjalani pelatihan tetapi belum juga berhasil mempraktikkannya di rumah boleh kembali ke Parung Farm untuk menimba ilmu lagi. Mereka memberi garansi.

Meminta bantuan teknisi Parung Farm datang ke rumah untuk memeriksa kebun hidroponik milik kita yang sedang bermasalah pun mereka layani dengan senang hati. Konsultasi dengan para ahli tanaman juga disediakan bagi pengunjung di Pasirmukti dan Tanah Tingal.

Ketiga pengelola tempat wisata itu memang memiliki prinsip berbagi ilmu dan mengampanyekan hobi bertanam. Mewabahkan hobi bertanam secara mudah dan menyenangkan ini sekaligus untuk menularkan kesadaran agar melestarikan tanaman-tanaman khas Indonesia atau tanaman yang sudah langka. Tanah Tingal, misalnya, memiliki moto ”konservasi demi kelestarian hidup”.

”Iya, (dengan hidroponik) kita jadi tidak perlu mencangkul tanah. Menyiram pun tidak perlu kalau sekaligus dibuat sistem penyiraman otomatis. Kita tinggal memberi pupuk yang tepat dan mengamati pertumbuhannya. Buat usia seperti saya, tentu enak, tidak harus keluar tenaga banyak dan tetap bersih saat berkebun,” kata Susilo (56), warga Depok yang ditemui saat mengikuti pelatihan di Parung Farm, Kamis (21/4).

Susilo juga merasa, berkebun itu sangat menenteramkan hati dan menyegarkan kehidupan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/03534570/wisata.ya.berusaha

Belajar Berkebun Yuk...

Oleh : Ratih Prahesti Sudarsono dan Neli Triana
Harian Kompas, Sabtu, 23 April 2011


Bingung mencari celah berlibur di akhir pekan yang cukup panjang tanpa harus terjebak macet atau menjadi boros? Coba berkebun saja, yuk. Tempat wisata yang bisa dikategorikan agrowisata ini banyak berlokasi di seputar Jakarta dan Bogor. Yang pasti, berkebun kali ini juga tak harus berkotor-kotor.

Beberapa tempat yang menarik dikunjungi, antara lain, Parung Farm di Jalan Raya Parung, Bogor; Pasirmukti di Citeureup, Bogor; atau di Tanah Tingal di Desa Sawah Baru, Jombang, Ciputat, Tangerang.

Kebun Hidroponik Parung 546 atau Parung Farm mudah dicapai, tidak sampai satu jam bermobil dari Pintu Tol Bogor Outer Ring Road di Kedung Halang, Kota Bogor.

Produk sayur dari Parung Farm mudah ditemukan di supermarket di Jakarta dan sekitarnya. Tempat ini juga dikenal sebagai kebun hidroponik terbesar di Indonesia.

Di Parung Farm, pengunjung bisa cuci mata melihat kebun sayur-mayur yang luas sekaligus belajar teknik berkebun bagi yang punya pekarangan terbatas. ”Kami di sini memang memberi pelatihan urban farming, khususnya hidroponik, dirtless gardening alias berkebun tanpa kotoran. Sebab, media tanamnya air, bukan tanah,” kata Ir Agus Waluyo, salah seorang instruktur di Parung Farm.

Mendengar kata pelatihan, jangan dulu berkecil hati. Di sana, tidak ada ruang kelas tertutup dan pelatihan membosankan. Yang tersedia, pendapa terbuka sehingga dapat melihat aktivitas para pekerja kebun dan menikmati semilir angin. Berada di sana tidak hanya diberi teori, tetapi juga praktik langsung.

Apa cocok untuk wisata anak-anak, remaja, dan orang tua? Tentu saja. Kalau hanya datang berdua bisa langsung ke lokasi. Namun, jika mengajak keluarga besar atau rombongan, lebih baik membuat janji dulu.

Dikarenakan tujuan ke Parung Farm berekreasi, sudah pasti pengelola juga menyediakan fasilitas bersenang-senang. Namun, permainan yang disediakan, memperkenalkan tumbuhan dan cara berkebun yang menyenangkan, unik, serta dijamin beda dari biasanya.

Biayanya Rp 5.000 per orang untuk anak TK dan Rp 10.000 untuk anak SD. Biaya untuk anak SMP dan SMA masing-masing Rp 15.000 dan Rp 20.000 per orang. Biaya untuk pengunjung umum Rp 25.000 per orang. Waktu ”bermainnya” adalah 2-3 jam.

Dengan biaya tersebut, pengunjung bisa mengarungi kawasan kebun seluas 3,5 hektar. Di beberapa tempat, terdapat hamparan sayuran segar, jamur merang, kolam ikan nila, kebun anggrek, kolam ikan, bengkel membuat pot hidroponik, dan percontohan kebun konvensional (di tanah), seperti singkong, cabai, terong. Saat pulang, bibit yang ditanam secara hidroponik di gelas plastik kecil pun diberikan gratis.

Yang ingin pelatihan mendalam dikenai biaya Rp 750.000 per orang, memakan waktu hampir satu hari penuh. Penginapan juga tersedia, Rp 750.000 per malam, berupa rumah kayu. ”Kalau menginap, makannya bisa masak sendiri karena ada dapur, tapi mau pesan juga bisa,” kata Sudibyo Karsono, pengelola Parung Farm.

”Outbound” dan bersepeda

Selain Parung Farm, ada juga Kebun Wisata Pasirmukti dan Tanah Tingal.

Pasirmukti bahkan dilengkapi dengan fasilitas outbound serta penawaran paket-paket wisata bagi anak-anak ataupun anak dengan kebutuhan khusus, juga seminar.

Pasirmukti tepatnya berada di Jalan Raya Tajur Pasirmukti Kilometer 4 Citeureup, Bogor. Dari Tol Jagorawi, ambil Pintu Tol Cibinong-Citeureup, belok kiri, dan setelah itu tinggal mengikuti papan petunjuk. Waktu tempuh sekitar 45 menit dari Jakarta.

Tiket masuk Rp 15.000 per orang. Di sini juga tersedia lahan kamping sampai flying fox melintasi sungai. Di hamparan kebun yang luas, ada juga tempat khusus untuk pengembangan anggrek, tanaman buah, dan berbagai jenis tumbuhan. Ada juga demo gratis perawatan anggrek. Mau menginap di sini pun ada pondok-pondok cantik dan nyaman.

Tanah Tingal pun lebih kurang sama. Bedanya, di tempat wisata yang diprakarsai almarhum Boediardjo, mantan menteri penerangan pada masa Soeharto, ini juga terdapat jalur sepeda.

Tanah Tingal berada di Jalan Merpati Raya, Desa Sawah Baru, Jombang, Ciputat. Di lahan seluas 9 hektar ini segala pernak-pernik kebutuhan hobi tanaman tersedia.

Duh, asyiknya main di lahan penuh pohon, dan yang pasti udaranya juga sangat segar. Yuk, segera berangkat.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/03530784/belajar.berkebun.yuk...

Minggu, 10 April 2011

TNI Pun Peduli Ketahanan Pangan

Kompas, Senin,11 April 2011


Apa hubungan militer dengan ketahanan pangan?
Secara langsung memang tidak ada.

Namun, seseorang bisa membela negerinya jika perutnya terisi. Karena itu, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat merasa perlu untuk terlibat dalam urusan ketahanan pangan itu.

Dan, TNI AD menggandeng Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk mendorong swasembada pangan sebagai bagian dari strategi membangun ketahanan nasional. Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI George Toisutta di Jakarta hari Jumat (8/4) menjelaskan, TNI AD bersinergi dengan HKTI untuk mendampingi petani serta memanfaatkan lahan milik TNI AD yang belum dimanfaatkan.

”Ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional dan menjalankan fungsi pembinaan teritorial. Prajurit akan diberi pelatihan pertanian dan peternakan oleh HKTI. Pada gilirannya, mereka akan membantu masyarakat,” ujar Toisutta.

Dia mengatakan, Indonesia kaya potensi pertanian dan kelautan, tetapi tidak dikelola dengan baik. Bahkan, bidang pertanian tidak dianggap sebagai pekerjaan bergengsi. Jumlah personel TNI AD yang lebih dari 300.000 orang dapat menjadi potensi strategis membangun ketahanan pangan.

Ketua Umum HKTI Oesman Sapta Odang menjelaskan, Indonesia masih mengimpor bahan pangan pertanian, hasil laut, dan produk olahan sebesar Rp 110 triliun per tahun.

”Bahan pangan seperti kedelai, susu, dan buah masih diimpor dalam jumlah besar. Kalau sepertiga dana impor itu digunakan untuk membangun pertanian, perkebunan, dan perikanan, kita dapat menciptakan kemandirian pangan dalam waktu lima tahun,” ujar Oesman Sapta.

Oesman Sapta menerangkan, kerja sama HKTI dan TNI AD sudah dijalankan di sejumlah wilayah. Membangun swasembada pangan adalah tugas penting di masa damai bagi HKTI dan TNI. Apalagi, 70 persen masyarakat Indonesia masih hidup di sektor pertanian. Toisutta pun mendukungnya. (ong)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/11/02515613/tni.pun.peduli.ketahanan.pangan

Kamis, 07 April 2011

Pertarungan di Piring Nasi

Oleh : Budi Suwarna
Kompas Minggu, 13 Maret 2011


Apa yang terjadi jika kita kehilangan makanan ibu—makanan yang secara tradisi diturunkan dan kita kenal sejak kecil? Kita akan kehilangan sebagian kemanusiaan kita, begitu keyakinan Prof Murdijati Gardjito (69,foto).

Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini, makanan tidak hanya terkait masalah perut, tetapi terutama budaya.

”Makanan terkait perilaku dan gaya hidup. Kalau makanannya berubah, perilakunya juga berubah sesuai lingkungan yang dominan,” tegas Murdijati, Senin (21/2) siang di Gedung Pusat Antar Universitas UGM.

Rangkaian pekerjaan di dapur antara orang yang memakan jagung, nasi, dan ubi saja sudah berbeda. Cara memasak juga berbeda. Semua itu membentuk budaya masak yang khas, yang membedakan antara budaya masak bertungku dan budaya masak memakai kompor, gas, serta listrik.

Hasil beberapa jenis masakan ibu memiliki makna filosofi khusus yang diperlukan dalam beberapa ritual. Tumpeng, misalnya, bagian puncaknya menyimbolkan hubungan manusia dengan Tuhan, sayuran di sekeliling tumpeng menggambarkan banyaknya masalah di dunia, kacang panjang menyimbolkan usia panjang, kangkung lika-liku hidup.

Pada beberapa keluarga, tata cara makan urut awu, artinya berurutan mulai dari ayah, lalu ibu, anak paling tua, hingga akhirnya anak paling muda. Terlepas dari asumsi budaya patriarkal, tata cara makan itu, menurut Murdijati, mengajarkan toleransi dan tenggang rasa sejak di meja makan.

”Orang diajari sabar, mau memikirkan kepentingan orang lain, dan tidak main serobot,” ujarnya.

Dia sangat prihatin karena generasi sekarang tidak tahu lagi aspek budaya pada makanan ibunya. Mereka tidak lagi merasakan kebersamaan ibu dan ayah mereka di dapur sebab ayah dan ibu sibuk bekerja, tak punya banyak waktu buat keluarga. Tidak ada lagi yang menanamkan kebajikan seperti toleransi, tenggang rasa, dan kebersamaan di meja makan, yang menjadi cermin hal serupa di dalam masyarakat.

”Jadi, jangan heran kalau toleransi dan tenggang rasa makin berkurang. Orang main serobot di mana-mana,” tambah Murdijati.

Pemodal besar yang membaca perubahan gaya hidup di dalam rumah kemudian menawarkan makanan instan. Dengan iklan yang gencar, makanan instan menjadi pilihan utama konsumen. Makanan ibu makin terlupakan.

Apa yang akan terjadi kemudian? Ketika kita melupakan makanan ibu, sebenarnya kita sedang membiarkan diri kita tercerabut dari akar budaya sendiri. ”Kita asing dengan diri sendiri sebab apa yang kita miliki sekarang (termasuk makanan) adalah hasil meniru kebudayaan orang lain,” ujar Murdijati.

Tersapu makanan instan. Murdijati yang aktif di Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM sejak 1998 memperkirakan, 60 persen makanan ibu atau makanan tradisional Indonesia sudah sulit ditemukan dan ditelusuri jejaknya—untuk tidak mengatakan punah. Dari kajian Murdijati, makanan tradisional satu per satu hilang setelah gencarnya kampanye makan mi instan di berbagai media.

”Mi instan menyapu bersih semua makanan (ibu) yang ada sebab makanan itu dicitrakan praktis, modern, dan seolah-olah murah. Sekarang bisa dicek, 95 persen rumah tangga (di Indonesia) menyimpan mi instan,” tambah Murdijati.

Hantaman terhadap makanan tradisional juga datang dari makanan cepat saji , dengan ”busana” lebih mentereng, modern, dan berkelas sehingga menyilaukan mata. ”Sekarang, kita bangga makan di restoran fast food di mal. Kita merasa modern dengan makan di sana, padahal gizi fast food tidak seimbang,” ujar Murdijati.

Nah, ketika makanan tradisional hilang, komoditas yang menunjangnya pun terabaikan. Murdijati memberikan contoh, 14 dari 24 jenis umbi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang punah karena tidak ada yang mengonsumsi dan mengembangkannya.

Komoditas tersebut makin kurang dilirik seturut ”politik beras” yang diusung Orde Baru terlalu menyederhanakan masalah. Menurut Murdijati, ”Yang dipikir hanya produksi beras, tetapi tidak memikirkan pendidikan konsumen.”

Ketika beras melimpah, semua orang dari Sabang sampai Merauke mengonsumsi beras, termasuk yang sebelumnya makan ubi, singkong, dan sagu. ”Apalagi orang yang makan nasi dianggap status sosialnya tinggi.”

Konsumsi beras kita, lanjut Murdijati, sudah berlebihan. Kita mengonsumsi 139,15 kilogram beras per kapita per tahun. Padahal dunia hanya merekomendasikan 60 kilogram.

Situasi itu menimbulkan problem di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kalaupun produksi beras digenjot, tidak akan mampu mengejar pertambahan jumlah penduduk. Akhirnya beras jadi mahal dan sulit diakses penduduk miskin.

Bayang-bayang krisis pangan, lanjut Murdijati, didengungkan orang hampir setiap hari. Namun, menurut dia, tingkat ketersediaan pangan kita sebenarnya cukup dan bervariasi, asal tidak terpaku hanya mengonsumsi beras.

Potensi umbi alam di Provinsi DIY, misalnya, cukup untuk memberi makan 72 persen dari 3 juta penduduk seandainya mereka sehari tidak makan nasi. Jika umbi dikembangkan secara intensif, bisa memberi makan 79 persen penduduk. Jika dikembangkan secara intensif dan ekstensif, bisa memberi makan 89 persen penduduk.

”Itu tanpa upaya keras lho karena sudah ada di alam, tetapi tidak pernah diumumkan karena pemerintah tidak punya data. Yang punya data, kami di pusat- pusat studi pangan,” katanya.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada kekurangan pangan atau kelaparan di Indonesia. Persoalannya, orang sudah telanjur bergantung pada beras yang harganya kian mahal dibandingkan sumber karbohidrat lain.

Pertarungan. Murdijati berpendapat, jika serius ingin menjaga ketahanan pangan, pemerintah harus segera mendata makanan ibu dan komoditas penunjangnya. Setelah semua data dari seluruh Indonesia itu diintegrasikan, baru bisa dibuat strategi pangan berbasis kekayaan alam sendiri.

Dalam konteks ini, posisi makanan ibu dan semua komoditas penunjangnya menjadi sangat penting karena menjadi bagian program jangka panjang (roadmap) pengembangan produk makanan baru yang bisa diterima luas. ”Kalau bicara ketahanan pangan sekadar bicara beras, itu omong kosong. Beras tetap harus surplus, tetapi orang tidak perlu semuanya makan nasi,” ujar Murdijati.

Selain itu, perlu menanamkan kesadaran soal makanan agar masyarakat tidak mudah termakan iklan makanan instan dan cepat saji produksi kapitalis global, yang umumnya hanya memikirkan kepentingan bisnis. Menurut Murdijati, jika kita gagal memberikan pemahaman itu, kita akan kian terjebak dalam situasi yang sulit: bergantung pada produsen makanan global, terutama fast food.

Murdijati menganjurkan agar penyadaran soal makanan ditanamkan lagi lewat keluarga. ”Keluarga sebaiknya menghidupkan lagi makanan tradisional sebab memasak dan mengonsumsi makanan di rumah akan membangun kebahagiaan dan kebajikan yang semakin hilang.”

Seruan seperti itu selaras dengan gerakan slow food yang belakangan muncul.

”Gerakan ini (slow food) merupakan antitesis fast food. Jadi, serba berlawanan. Fast food berbasis modal besar melawan slow food yang berbasis konsumen,” katanya.

Slow food yang berlambang keong nan lamban berlawanan dengan fast food yang mengusung kecepatan dan percepatan semu, yang hanya menguntungkan kapitalisme global. Gerakan slow food sudah tiga kali mengadakan konferensi dunia di Milan, Italia.

Seruannya, antara lain, makanan yang masuk ke dalam tubuh harus diketahui asal-usulnya; makanan harus dimasak dengan cara-cara yang diketahui dan bahan-bahannya diyakini tidak mengandung zat berbahaya; memberikan penghargaan kepada orang yang memasak hidangan yang kita makan; masyarakat/institusi semestinya punya kebun atau kantin untuk memasak makanan sehingga semuanya terkendali.

”Generasi nenek harus kembali ke dapur untuk mengajari cucunya memasak karena generasi ibu dan bapak sekarang telah kehilangan orientasi di dapur lantaran sibuk berkarier di luar rumah,” imbau Murdijati.

Gerakan slow food yang berbasis pada makanan ibu terutama dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar konsumen terhadap produsen makanan global yang selama ini menjajah selera konsumen.

”Jadi, ini gerakan politis,” tegas Murdijati.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/13/0449265/pertarungan.di.piring.nasi

Minggu, 03 April 2011

Sayur dalam Pot di Pesisir

Ahmad Arif
Kompas, Senin,4/4/2011


Perubahan iklim, yang hadir dalam bentuk intrusi air laut ke daratan, dirasakan warga Cangkring, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat. Jangankan tanaman padi, rumput pun sulit tumbuh di desa berbatas laut itu. Sebelum 1998, desa itu masih punya 400 hektar sawah.

Sebelum 1990-an, kami adalah petani,” kata Zaenudin, warga Cangkring. Perlahan, sawah-sawah mereka tergerus air laut.

Sawah berubah payau. Debit air tawar irigasi jauh lebih kecil dibanding aliran air laut ke darat. Panen padi terus merosot.

Karena itu, sejak 1998, warga desa tergoda mengalihkan lahan jadi tambak udang yang menjanjikan keuntungan tinggi. ”Semua sawah dijadikan tambak karena padi tak mungkin lagi ditanam,” kata Solikhin, Ketua Kelompok Tani Sekar Kedaton dari Cangkring.

Namun, usaha tambak udang hanya bertahan kurang dari lima tahun. Hasil tambak merosot karena berbagai penyakit. Areal tambak bekas sawah sebagian dibiarkan telantar. Kembali ke padi tak mungkin lagi.

Hamparan padi menguning tinggal cerita. Desa itu gersang dan meranggas. Satu-dua pohon kelapa dan pisang yang tumbuh daunnya kuning. Enggan berbuah. Bahkan, rumput hanya tumbuh di musim hujan. Hijau tanaman hanya bunga-bunga yang ditanam warga menggunakan pot, tanahnya dari desa tetangga.

”Bunga dalam pot itu menjadi ide kami mengajak warga menanam sayur dalam polybag plastik,” kata Masroni, Ketua Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Indramayu.

Sejak setahun lalu, IPPHTI Indramayu berupaya menghijaukan kembali Desa Cangkring. Tak mudah. Tanah di Cangkring terlalu asin. Air pasang yang sering merendam pekarangan warga membuat upaya menanam jadi mustahil.

”Kami mendatangkan tanah dari desa lain. Sayuran ditanam di polybag yang disusun di atas gundukan tanah agar bebas dari air pasang,” kata Masroni.

Upaya itu berhasil. Kini, aneka sayur, seperti cabai, terung, kacang panjang, hingga pare, tumbuh di pekarangan warga. ”Sudah bertahun-tahun kami tak makan sayur. Kini, kami bisa makan hasil tanaman sendiri,” kata Solikhin.

Intrusi air laut

Cerita tentang Cangkring layak jadi peringatan bagi pertanian kita, khususnya pertanian di pesisir Pulau Jawa yang rentan terdampak kenaikan muka air laut. Penelitian pakar bencana dari Universitas Gadjah Mada, Subiyakto, mengingatkan, perubahan iklim berupa naiknya muka air laut sudah hadir di Indonesia. Hal ini rentan menjadi bencana dalam skala masif.

”Perubahan iklim di Indonesia sudah sangat serius dampaknya. Diperlukan percepatan strategi mitigasi dan adaptasi berbasis kapasitas masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk mengurangi dampak,” kata Subiyakto, dalam pengukuhan sebagai guru besar, belum lama ini. Perubahan iklim paling gampang terlihat dari intrusi air asin ke daratan.

Subandono dalam bukunya, Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2009, memprediksi, kenaikan muka air laut di pantai utara Jawa mencapai 6-10 mm per tahun. Artinya, kota-kota di pesisir Pulau Jawa, seperti Pekalongan, 100 tahun mendatang akan tergenang air laut hingga 2,1 km dari garis pantai saat ini. Sementara itu, Kota Semarang akan tergenang sejauh 3,2 km dari garis pantai.

Eksperimen petani

Kustiwa Adinata, Koordinator Program IPPHTI Nasional, mengatakan, eksperimen di Cangkring hanya satu contoh upaya petani di jaringannya dalam menyiasati intrusi air laut. Mereka mencoba menanam dan menyilangkan varietas padi tahan asin di Desa Cantigi Kulon, masih di Indramayu.

Selain Indramayu, IPPHTI juga menggandeng sejumlah petani di Brebes, Cilacap, Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, hingga Palembang (Sumatera Selatan) dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara) untuk bertani di lahan asin.

”Dua tahun terakhir, kami mendampingi petani di Rawa Apu, Cilacap, kembali menggarap sawah yang ditinggalkan karena air asin. Menanam padi atau sayur di lahan asin dimungkinkan. Namun, kami harus terus bereksperimen. Tiap daerah, teknik dan benih yang cocok berbeda-beda,” kata Kustiwa.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/04/03434593/sayur.dalam.pot.di.pesisir.

Sabtu, 05 Februari 2011

Buku Panduan Menghindari Cekikan Harga Cabai

Oleh : Bambang Haryanto
Email : indolocavore (at) gmail.com


Mari Elka Pangestu pusing dibelit harga cabai.
Tetapi ia punya solusi yang menginspirasi.
Dengan bertanam cabai di rumahnya sendiri.

Menteri Perdagangan itu sesusai bertemu Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis, 6/1/2011, berkata kepada wartawan : "Pengumuman, saya sudah menanam 200 pohon cabai di rumah, memakai pot-pot. Saya ajak konsumen untuk ikut menanam," ujarnya.

Menteri Pertanian Suswono beberapa hari kemudian (6/1/2011) menimpali, bahwa langkah pemerintah untuk mengatasi krisis cabai adalah mengajak masyarakat menanam pohon cabai di halaman rumah masing-masing. "Ini kebiasaan yang harus dicanangkan kembali karena menanam cabai itu mudah. Tak punya halaman saja, bisa pakai pot dan lainnya," paparnya lagi.

Anjuran para menteri itu terkait kenyataan pahit, betapa lonjakan harga cabai menjadi penyumbang angka inflasi yang signifikan tinggi di pada bulan Januari 2011 yang baru berlalu.

Bersiap diri ke depan. Anjuran Presiden SBY agar warga sudi bertanam cabai di rumah, yang disuarakan para pembantunya itu, baik pula untuk kita camkan. Walau sebenarnya, anjuran itu bukan hal yang baru.

Apabila Anda terjun meriset di Internet, Anda akan menemui banyak petunjuk mengenai budi daya tanaman cabai dalam pot. Misalnya blog Info Agrobisnis, blog Bertani Mandiri, laporan ilmiah mahasiswa IPB Bogor , Pendi Nainggolan dan kawan-kawan yang berjudul Budi Daya Cabai Dalam Pot Sebagai Penyejuk Pekarangan Rumah Dan Bermanfaat Bagi Kebutuhan Dapur sampai blog berisi ajakan "Berkebun Cabai Yuk" untuk para remaja dari Daniezha yang berdomisili di Semarang.

Panduan yang lebih menarik dan lengkap dapat direguk dari buku karya dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Purwono, MS yang berjudul Bertanam Cabai Rawit Dalam Pot (AgroMedia Pustaka, 2003, foto di atas). Ketika milang-miling di rak buku Perpustakaan Umum Wonogiri, saya seperti kejatuhan durian untuk segera tergerak membaca-baca buku ini.

Dari buku ini saya baru tahu bahwa tanaman cabai memiliki banyak manfaat dan khasiat. Antara lain sebagai "obat" pelangsing tubuh sesuai hasil penelitian di Universitas Tasmania, Australia, kemudian daunnya dapat menyembuhkan sakit eksim, serbuk cabai berguna obat sakit reumatik, dan kembali daunnya dapat kita manfaatkan sebagai obat sakit perut (h.11).

Sebelumnya kita dibukakan wawasan mengenai sejarah tanaman cabai, klasifikasi, sampai jenis-jenis cabai rawit. Kemudian kita dibimbing untuk mengetahui pelbagai keuntungan bertanam cabai dalam wadah, yang antara lain : kita dapat mengoptimalkan pekarangan sempit dan dapat memanfaatkan barang-barang bekas sebagai wadah penanaman.

Ada nilai plus lain yang disebutkan oleh penulis, bahwa "tanaman yang ditanam tidak hanya dapat dipetik buahnya, tetapi juga dapat dinikmati nilai keindahannya" (h. 12-13). Informasi terakhir ini sejalan dengan filosofi pertanian perkotaan (urban agriculture) yang merangkul juga nilai-nilai rekreasi dan hiburan.

Bahasan teknis pertanian meliputi langkah pembibitan dan pemeliharaan, mengenali hama dan penyakit tanaman cabai, kemudian tentang panen dan pascapanen. Informasinya disampaikan dengan sederhana, juga jelas.

Tunggu apalagi ?

Ketika suatu saat kelak harga cabai kembali melambung tinggi, saya harap Anda sudah tidak pusing-pusing lagi. Tidak hanya dapur Anda saja, juga bahkan warga dunia, kini menanti Anda sebagai teladan dalam berkiprah budi daya cabai rawit dari halaman sekitar rumah Anda.

Mulailah segera.
Hari ini juga !


Wonogiri, 5-6/2/2011

Kamis, 03 Februari 2011

Era Pangan Murah Sudah Berlalu, Waspadalah !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : indolocavore (at) gmail.com


Ulama pun protes soal beras.
Bukan ulama biasa.
Tetapi Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Sebagaimana dikutip Antara (2/2/2011), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritik kebijakan pemerintah dalam menghadapi ancaman krisis pangan dengan mengimpor beras dan membebaskan bea masuk 57 produk pangan karena dinilai merugikan petani di dalam negeri.

"Sulit rasanya untuk mengatakan bahwa kebijakan ini berpihak kepada petani," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj usai penyerahan sumbangan DPP PKB Rp1 miliar untuk PBNU di Jakarta, Rabu.

Dikatakannya, kebijakan pemerintah mengimpor beras saat petani panen raya pada Januari-Maret, pembebasan bea masuk 57 produk pangan, dan rendahnya serapan gabah petani adalah indikasi nyata bahwa para pejabat terkait tidak cerdas dalam menafsirkan komitmen politik pertanian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Bayangkan, sesuatu yang terjadi secara rutin setiap tahun, tapi tidak bisa diantisipasi dengan kebijakan yang strategis," katanya.

Tanda bahaya. Keprihatinan Ketua PBNU itu semoga menjadi sinyal yang tidak bisa kita abaikan. Masalah pangan merupakan masalah yang serius. Badan pangan dunia FAO juga mengisyaratkan betapa dunia di ambang krisis pangan yang bahkan digambarkan krisis kali ini akan mengancam perdamaian dan stabilitas dunia.

"Era pangan murah sudah berlalu," demikian simpul Sir John Beddington, kepala penasehat ilmu pengetahuan dari pemerintah Inggris. Milyaran penduduk dunia masih kelaparan. Populasi menanjak secara cepat. Laporan itu menandaskan bahwa petani, politisi, ekonom dan kalangan ilmuwan dituntut menemukan solusi dalam meningkatkan produksi pangan yang lebih efisien yang juga terkait dengan masalah air dan energi.

Peran kita. Ancaman krisis pangan dunia itu semoga tidak kita tanggapi dengan taktik burung unta. Dengan menganggap ancaman itu seolah hanya menjadi persoalan utama bangsa Afrika, yang jauh dari kita. Melainkan kita harus tidak menutup mata betapa pada awal bulan lalu kita digemparkan berita kematian enam anak dari keluarga Jamhamid-Siti Sunayah yang mengonsumsi tiwul beracun di desa Jebol, Mayong, Jepara. Realitas memilukan itu menunjukkan betapa bencana itu tidak jauh dari diri kita di Indonesia ini.

Ketika dunia semakin menyatu, maka tidak pada tempatnya bila kita kemudian hanya sibuk mengingkari persoalan-persoalan global itu, di mana seolah dengan membenamkan kepala kita ke tanah dan kemudian mengangap semua masalah itu akan segera berlalu dengan sendirinya.

Kita sebagai warga dunia harus segera berbaris ikut sebagai solusi. Adalah Dr Mike Pepler, UK Awards Manager dari Ashden Awards Inggris telah mengajukan solusi di mana kita semua sebagai warga negara mampu berperan serta dalam mengatasi ancaman krisis pangan dunia itu. Modal pertama, tentu saja adalah kepedulian dan kesadaran. Juga keinginan untuk menularkan pengetahuan yang ada, sehingga semakin banyak warga yang tergerak untuk melakukan hal mulia yang sama.

Hanya tiga langkah mudah berikut ini :

Jangan sia-siakan makanan. Makanan yang terbuang tidak hanya membuang makanan bersangkutan, tetapi juga segala hal yang dibutuhkan untuk menghasilkan makanan tersebut. Termasuk air, pupuk, pestisida, diesel (untuk mesin pertanian dan sarana transportasinya), listrik (untuk penyimpanan), kemasan dan juga energi yang Anda gunakan di rumah untuk menyimpan dan memasaknya.

Konsumsi daging lebih sedikit. Produksi daging jauh lebih banyak membutuhkan bahan bakar fosil dibanding memproduksi makanan, dan menyebabkan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi. Juga membutuhkan lahan yang lebih luas sebagaimana satwa mengonsumsi bahan pangan yang dapat dikonsumsi manusia, sehingga semakin banyak daging yang kita santap jelas kian mengurangi sediaan pangan secara total.

Gaya hidup locavore. Bercocok tanamlah sendiri di rumah Anda. Menanam beberapa tanaman bahan pangan di sekitar rumah Anda merupakan kegiatan yang mudah dilakukan. Dengan cara ini pula Anda dapat menumbuhkannya secara organik dan menghindari pemakaian bahan-bahan kimia. Bahan pangan itu juga tidak perlu diangkut dari tempat lain yang jauh, karena telah tersedia dalam beberapa langkah dari dapur Anda.

Peran serta aktif Anda kini dinantikan oleh dunia.
Oleh sesama umat manusia.

PS : Info lebih lanjut tentang foto dapat Anda klik disini.

Wonogiri,4/2/2011

Kamis, 27 Januari 2011

Locavore Indonesia : Awal Sebuah Revolusi

Oleh : Bambang Haryanto
Email :indolocavore (at) gmail.com


Locavore.
Sudahkah Anda kenal istilah eksotis ini ?
Saya ketabrak istilah itu gara-gara cabai.

Ceritanya, kemarin (19/1/2011) saya memperoleh kabar mutakhir tentang cabi itu dari penjual mi ayam Mas Djan di Wonogiri. mBaknya baru pulang dari pasar, dan mengeluh. Ia baru saja membeli cabai seperempat kilogram dengan harga gila-gilaan.

"Satu kilogram cabai rawit,harganya masih seratus ribu rupiah," katanya.Beberapa hari sebelumnya, koran lokal mewartakan betapa harga cabe satu klethus senilai rupiah sebanyak tiga ratus !

Pagi ini (20/1/2011), mungkin karena benak ini terus dihantui harga cabai itu, ketika membuka-buka situs koran The Jakarta Globe, saya tertabrak istilah locavore itu dalam artikel yang inspiratif. Artikel tentang revolusi upaya memperkuat ketahanan pangan bagi warga Indonesia.

Disitu, penulisnya, Magfirah Dahlan-Taylor yang kandidat PhD bidang perencanaan, tatalaksana dan globalisasi dari Virginia Tech (AS), mewedar gagasan menarikTentang revolusi memperkuat daya tahan pengadaan pangan di negara kita ini melalui upaya pemanfaatan halaman kebun rumah-rumah kita.

Kunci keberhasilan gagasan mulia ini, menurut beliau, harus dimulai dari pola pikir, mindset kita-kita semua.

Ia lalu merujuk ikhtiar Michelle Obama, yang berkebun tanaman sayuran di kompleks Gedung Putih. Aksi mulia Ibu Negara AS itu, menurutnya, sejalan dengan tren gerakan masyarakat di AS yang berlabel locavore, walau ada juga yang menyebut localvore.

Gerakan itu pada intinya berusaha mendekatkan sumber makanan kepada konsumen yang selama ini terbiasa mengambil makanan dari rak-rak di pasar-pasar swalayan ketimbang langsung dari tanaman. Dengan gerakan ini kita diajak mengonsumsi makanan-makanan hasil budi daya lokal.

Selain lebih murah, karena tidak terbebani biaya pajak sampai transportasi [baca kisah menarik dari mBak Bea, warga Indonesia yang kini tinggal di Perancis ketika kangen makanan asal Indonesia], kita juga diajak dan diajar untuk mengetahui ikhtiar apa saja yang membuat tanaman itu tumbuh.

Misalnya, apakah memakai pupuk kimia ataukah pupuk organik ? Merujuk hal itu, jelaslah pula bila gerakan locavore itu juga berimpit dengan misi gerakan pelestarian lingkungan hidup. Dan menurutnya, harus digairahkan sejak dini di bangku-bangku pendidikan kita.

Terima kasih, Ibu Magfirah Dahlan-Taylor.

Bagaimana sikap kita ? Mumpung kita semua masih merasakan shock, termasuk bila Anda membaca berita yang mengabarkan harga cabai mampu mencapai seperempat juta rupiah per kilogramnya, semoga tanda bahaya rawan pangan itu, yang juga berpotensi menjalar ke komoditas pertanian lainnya, mampu menginspirasi kita untuk mulai bergerak. Dimulai dari hal kecil, dari diri kita, dari rumah kita, dan sebaiknya kita lakukan sekarang juga.

Bertani modal kaleng. Bagi saya, imbauan di atas itu ibarat memutar kembali lagu lama dengan aransemen baru. Sedikit bernostalgia, di tahun 1998 ketika badai krisis moneter menggebuk Indonesia yang membuat saya harus pulang kampung ke Wonogiri setelah ngendon di Jakarta lebih dari 18 tahun, saya sempat membuat isu kecil-kecilan dan gerakan berkebun tanaman sayuran di halaman rumah sendiri.

Saya mengajak warga, misalnya dengan memanfaatkan lahan terbatas dan bahkan kaleng-kaleng bekas cat, untuk berkebun tanaman cabai, sawi, kangkung, sampai kacang panjang. Saya bahkan berbisnis benih-benih tanaman sayuran itu, juga pupuk organik, dengan label Optimis melalui jasa pos. Gagasan itu saya sebarkan dan promosikan melalui kolom-kolom surat pembacadi pelbagai surat kabar.

Cerita jadul itu sempat juga saya tulis di blog Esai Epistoholica pada bulan Agustus 2005. Potongannya : "Bisnis pertanian melalui surat pembaca juga pernah saya terjuni. Akibat krismon di awal 1998, saya pun harus hengkang dari Jakarta. Kembali mudik ke Wonogiri.

Dalam perjalanan bis Solo-Wonogiri, saya temukan penjaja asongan yang menawarkan produk unik. Yaitu paket kecil berisi sepuluh jenis biji-bijian, benih tanaman sayuran. Ada bayam, kangkung, lombok, sawi, tomat, gambas sampai mentimun. Saya membeli dan minta alamat penjualnya. Dirinya tinggal di daerah Sukoharjo. Harga satu paket, Rp. 1.000. Kalau belinya banyak, harganya Rp. 600 per paket.

Pertanian adalah subjek yang saya buta sama sekali. Saya anak tentara, bukan anak petani. Selama 18 tahun saya pun tinggal di Jakarta. Kini tiba saatnya, pikir saya, untuk belajar menjadi petani. Saya segera mencari info ke Departemen Pertanian. Bahkan kemudian menemukan tempat yang menjual pupuk organik. Juga membaca-baca majalah pertanian Trubus yang terkenal itu.

Di masa krisis moneter itu cabai harganya mencapai puluhan ribu per kilogram, aku pikir, gerakan swadesi alias mencukupi kebutuhan diri sendiri model Mahatma Gandhi (foto di atas) sebaiknya dicoba untuk dipromosikan."

Revolusi kita bersama. Anda sebagai warga negara Indonesia di mana pun Anda berada, apakah kira-kira kini menjadi ikut tertarik dan kemudian tergerak untuk ikut dalam revolusi locavore yang coba ikut saya sebarkan melalui blog ini ?

Hanya Anda yang bisa memastikannya.

Harapan saya : semoga obrolan tentang cekikan harga cabai, gerakan locavore, dan inspirasi dari Mahatma Gandhi ini mampu membawa manfaat bagi kita semua. Mari kita mulai beraksi. Demi kesejahteraan Anda pribadi, keluarga Anda, lingkungan Anda, dan kita semua.

Anda punya pendapat menarik tentang hal ini ?
Atau ingin berbagi inspirasi dan pengalaman ?
Saya menantikannya.
Terima kasih sebelumnya saya haturkan kepada Anda.


Wonogiri, 28/1/2011


PS : Saat ini saya memelihara 8-10 tanaman cabai.Ditanam sambil lalu saja. Walau tak begitu lebat, saya masih bisa mengonsumsi sayuran favorit ini, untuk diganyang menemani tempe mendoan.


lcv