Rabu, 13 Juni 2018

Rusmana, Penggerak Tanaman Obat di Tengah Kemiskinan Petani


SHNet, BANDUNG – Di desanya kemiskinan buruh tani merajalela. Keluarga prasejahtera banyak kesulitan urusan dasar ekonomi. Sanitasinya buruk, pendidikan anak-anak desa yang rendah. Ketiadaan peran negara dan minimnya kepemimpinan informal membuat makin pelik urusan desanya. Bagaimana hal itu harus diubah?

Petani dan pejuang. Rusmana menggerakkan warga desanya  menanam tanaman obat dan pangan untuk mengentaskan warga desanya dari jeratan kemiskinan (Foto : Ani/SHNet)


Rusmana, anak petani desa. Lahir di Kampung Cisanggarung Desa Cikadut Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung 3 Maret 1979. Pria lulusan sekolah dasar ini pada dua tahun belakangan harus berpikir serius tentang nasib petani. Ia tak lagi harus berpikir kehidupan rumah tangganya sebagai yang utama karena sejak ayahnya, Tarya Sujeta, seorang Kepala Dusun III (RW 10, 11 dan 12) dan Ketua Kelompok Tani Makmur Desa Cikadut itu meninggal awal 2016 lalu, ia merasa tergerak untuk melanjutkan ayahnya melayani para petani.

Sejak ayahnya meninggal, Bekas Kernet Truk dan Tukang Ojek ini memegang posisi ketua Kelompok Tani Makmur Cikadut. Bersamaan dengan itu juga di kampungnya berdiri Yayasan Odesa Indonesia yang memiliki perhatian terhadap masalah kehidupan petani Kecamatan Cimenyan untuk urusan pangan, ternak, literasi dan teknologi. Dari situlah kemudian Rusmana juga aktif bergiat urusan sosial kemasyarakatan petani bersama pengurus Odesa Indonesia yang para pengurusnya terdiri dari Dosen, Jurnalis, dan kaum professional dari Kota Bandung.

“Di Odesa Indonesia saya mendapat job untuk mengembangkan pertanian Tanaman Obat. Ada grupnya, namanya Tanaman Obat Cimenyan (Taoci). Kegiatannya ada dua, yaitu pembibitan dan sosialisasi tanaman herba, Selain itu saya juga memegang urusan sosial untuk amal,” katanya kepada SH.Net, Senin 4 Juni 2018.

Ambil bagian dalam kegiatan pertanian itu Rusmana menemukan jalan baru dalam mengatasi kemiskinan di kampung-kampung Cikadut dan beberapa tetangga desanya, seperti Desa Mandala Mekar, Mekarsaluyu, Desa Cimenyan, Desa Sindanglaya dan Desa Mekarmanik. Ia mengawal budidaya tanaman obat dan tanaman pangan. 

Kelor (Moringa Oleifera) yang menjadi prioritas kegiatan diletakkan sebagai alat perbaikan kesehatan, ekonomi dan lingkungan. Ada juga pengembangan tanaman herbal lain seperti binahong, kumis kucing, daun afrika, dan lain sebagainya. Menurutnya, tanaman obat itu sangat penting dikembangkan di masyarakat karena masyarakat miskin butuh pangan yang berkualitas.

“Kita ini sudah kehilangan banyak aset tanaman yang dulu ada kini tidak ada seperti padi gogo. Pendidikan pertanian di Odesa Indonesia sangat aktif memanfaatkan internet dan terus melakukan ujicoba. Dari situlah banyak hal baru yang mudah dilakukan dan bisa diproses dengan cara yang paling mudah,” tuturnya.

Dengan inovasi penanaman, pembibitan, pasca panen dan marketing itu, Rusmana dan semakin semangat karena menemukan solusi baru. Bertani tidak semata urusan sayuran yang panen harus menunggu 3-4 bulan itupun belum karuan hasilnya. Sementara dengan model barunya yang dimulai dari pembibitan hingga urusan marketing, hasil ekonominya bisa lebih rutin. “Kecil kalau rutin dan kita rekap hitungannya dalam waktu empat bulan faktanya hasil lebih besar,” katanya.

Dalam pandangan pria beranak dua ini, sosialisasi tanaman baru sangat penting karena dengan tanaman baru itu model pasca panen dan marketingnya juga bisa lepas dari kebiasaan perdagangan petani. Sebab jika pertanian yang dikembangkan adalah sayuran akan urusan terjebak pada siklus perdagangan yang spekulatif dan tidak menguntungkan.

Sementara dengan tanaman obat menurut Rusmana justru bisa menciptakan market tersendiri. Ia mencontohkan misalnya, ada kegiatan pembibitan kelor dengan menyerap 7 petani dan juga bisa mendorong petani menanam kelor secara bertahap. Hasil penjualan bibit ini sudah tergolong menambah penghasilan petani antara Rp 400-600 ribu setiap orang tanpa perlu beralih dari pekerjaan semula. 

Belum lagi soal penghasilan pengolahan pasca panen menjadi teh kelor yang sangat laris dan selalu kurang pasokan karena belum seimbangnya antara hasil panen dengan kebutuhan konsumen di perkotaan. Kemudian bersama petani kelompok Himpunan Orang Tani Niaga (Hotani) juga ada kegiatan pertanian Bunga Matahari yang bibitnya sudah mulai menampakkan hasil.

Perbaikan pertanian pada keluarga petani Pra-Sejahtera (sangat miskin) menurut Rusmana diakui tidak mudah. Banyak petani yang melakukan usaha pertanian tanpa perhitungan dan ikut-ikutan. Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak aktifnya pemerintah mengurus pertanian menyebabkan petani sulit mengembangkan diri. Sementara bersama Yayasan Odesa Indonesia petani diajarkan manajemen, pencatatan, dan juga pengolahan pasca panen, termasuk marketingnya. Dari situlah terasa bahwa dalam masa dua tahun terjadi banyak perubahan.

“Perbaikan petani itu harus disertai tindakan bersama. Tidak bisa hanya kursus atau anjuran. Mesti melalui pendampingan yang telaten dan serba melayani, termasuk melayani kebutuhan beras dan kebutuhan  lainnya,” terangnya.

Dalam pandangan Rusmana, kegiatan pertanian yang dilakukannya bukan semata untuk satu arah ekonomi, melainkan juga harus mengarah urusan pada dua aspek lainnya, yaitu perbaikan pendidikan dan kesehatan. Ia mencontohkan misalnya, pada budidaya kelor para petani tidak diajarkan berpikir sekadar mendapatkan uang dari panen, melainkan untuk kesehatan. Karena kandungan gizinya yang bagus, pohon yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar dikembangkan sebagai tanaman pangan itu benar-benar dirasakan manfaatnya oleh para petani desa. “Banyak orang sakit yang sembuh setelah mengonsumsi kelor, “ kata Rusmana.

Rusmana mencontohkan, ada ibu-ibu yang kena kanker payudara kini sudah sembuh. Ada yang stroke lama kini sudah membaik kesehatannya. Ada yang juga terkena diabetes juga membaik tubuhnya. Untuk urusan penguatan gizi anak-anak juga dirasakan sangat bagus karena anak-anak tidak mudah terserang flue atau masuk angin. Sedangkan dalam urusan pendidikan, tanaman obat seperti ini bisa bermakna lebih jauh, yaitu mengenalkan setiap potensi tanaman tidak sekadar bernilai dagang, melainkan bernilai gizi.

“Seperti tanaman pohpohan misalnya, petani tahu itu bisa dimakan. Tapi kebanyakan tidak ngerti kandungan gizinya. Setelah kita sosialisasikan manfaat dari kandungan gizinya, mereka jadi lebih semangat mengonsumsinya,” jelasnya.

Setelah kelor berjalan, kini Rusmana dan teman-teman petani lainnya sedang menyiapkan penanaman Bunga Matahari yang memiliki nilai gizi dan kesehatan. Tanaman Sorgum dan Buah Tin juga disiapkan semaksimal mungkin.

“Kita mulai dari nol semua, yaitu pembibitan. Buat saya kegiatan pertanian bukan sekadar menanam, melainkan harus dari hulu, yaitu bibit, kemudian tanam ladang, dan pasca panen serta marketing. Itulah mengapa kita memilih kegiatan bersifat intensif, kecil tetapi terurus. Sedikit lambat tapi jelas hasilnya,” jelasnya. (Ani)