Minggu, 02 September 2018

Berkebun Herbal Berkhasiat


Oleh : Mariyana Ricky P.D.
Solopos, Minggu, 2 September 2018 : XI

Bunga telang (Clitoria ternatea) adalah tumbuhan merambat yang biasa ditemukan di pekarangan atau tepi hutan. Tumbuhan anggauta suku polong-polongan ini berasal dari asia tropis, namun sekarang telah menyebar ke seluruh daerah tropika.

Sejak dahulu tumbuhan ini menjadi tanaman hias pekarangan karena bunganya yang berwarna biru terang. Kini, selain menjadi pengisi pekarangan, bunga telang dimanfaatkan menjadi teh. Di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, teh bunga telang menjadi tren dua tahun belakangan.



Sebagai minuman herbal, tanaman yang tumbuh liar tersebut dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan. 

Bahkan di Inggris, teh bunga telang diberi julukan magical tea. Pengobatan ala Ayuverdic tradisional (sub kontinen India) mempercayai telang  mampu meningkatkan daya ingat, sebagai antistres dan antidepresan. Dalam pengobatan tradisonal Tiongkok, tanaman ini dianggap bisa memengaruhi libido perempuan karena penampilannya mirip organ reproduksi wanita.

Khasiat-khasiat itulah yang membuat Wardiyono, petani asal Dukuh Sumber Kulon RT 006/RW 003, Desa Sumber, Kecamatan Trucuk, Klaten, mengebunkan kembang telang. Bunga yang juga dikenal dengan sebutan blue chai, Asian pigeon wings, blubelvine dan butterfly pea itu ditanam di sebidang lahan, dirambatkan di pagar rumah dan pekarangan.

“Jika tidak ada peminat, mungkin kami engga akan tanam. Setahun lalu, anak saya ke Thailand dan mendapati tren teh bunga telang. Dia membawa sejumlah bibit ke rumah, yang kemudian saya tanam,” kata dia, saat berbincang dengan Espos, Selasa (21/8/2018).

Bapak empat anak itu mengeringkan bunga telang kemudian mencampurkannya dengan herbal lain baru dikemas menjadi teh kantong. Campuran herbal yang digunakan antara lain jahe dan serai. Keduanya juga dipercaya berkhasiat, sehingga konsumen dapat merasakan dua manfaat sekaligus.

Saat diseduh teh bunga telang terasa ringan, manis meski tanpa gula, dan beraroma kuat. Campuran jahe dan serai lebih memperkuat rasanya. “Selain untuk teh seduh, air rendaman bunga telang bisa digunakan untuk mengobati mata merah,” terang Wardiyono.

Budi daya bunga telang tidak membutuhkan perlakuan khusus. Tanaman ini mudah tumbuh dan semakin trubus  jika sering dipangkas dan dipanen. Bunga mulai muncul setelah sebulan tanam dan terus berbunga sepanjang tahun dan berumur panjang sampai  dua tahun. Dari ratusan batang Wardiyono bisa panen setengah sampai satu kilogram bunga basah setiap hari.

“Tidak ada tenaga yang membantu selain istri, jadi hasil panen terbatas. Kalau rajin bisa sampain dua kilogram per hari, tetapi saya tidak sanggup. Bunga yang engga dipanen lantas menjadi polong. Polong ini yang kemudian menjadi calon bibit berikutnya,” kata dia.

Wardiyono menjual teh bunga telang berlabel Wardani Farm senilai Rp. 30.000 per kemasan berisi 20 lembar teh kantong.

Pemilik warung jamu RoemahReina Solo, Made Ayu Aryani, juga mengebunkan bunga telang. Ia lebih sering memanfaatkan bunga tersebut untuk pewarna alami. Kuliner seperti ketan dan nasi yang menjadi lebih menarik dan bermanfaat seteah mendapat seduhan warna biru.

“Saya juga membuat teh dari bunga telang. Warnanya berubah kala dipadu dengan bahan lain, seperti jadi ungu saat dicampur jeruk nipis. Kami juga sering menjadikannya pemanis (garnis) sajian,” jelasnya.

Rabu, 13 Juni 2018

Rusmana, Penggerak Tanaman Obat di Tengah Kemiskinan Petani


SHNet, BANDUNG – Di desanya kemiskinan buruh tani merajalela. Keluarga prasejahtera banyak kesulitan urusan dasar ekonomi. Sanitasinya buruk, pendidikan anak-anak desa yang rendah. Ketiadaan peran negara dan minimnya kepemimpinan informal membuat makin pelik urusan desanya. Bagaimana hal itu harus diubah?

Petani dan pejuang. Rusmana menggerakkan warga desanya  menanam tanaman obat dan pangan untuk mengentaskan warga desanya dari jeratan kemiskinan (Foto : Ani/SHNet)


Rusmana, anak petani desa. Lahir di Kampung Cisanggarung Desa Cikadut Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung 3 Maret 1979. Pria lulusan sekolah dasar ini pada dua tahun belakangan harus berpikir serius tentang nasib petani. Ia tak lagi harus berpikir kehidupan rumah tangganya sebagai yang utama karena sejak ayahnya, Tarya Sujeta, seorang Kepala Dusun III (RW 10, 11 dan 12) dan Ketua Kelompok Tani Makmur Desa Cikadut itu meninggal awal 2016 lalu, ia merasa tergerak untuk melanjutkan ayahnya melayani para petani.

Sejak ayahnya meninggal, Bekas Kernet Truk dan Tukang Ojek ini memegang posisi ketua Kelompok Tani Makmur Cikadut. Bersamaan dengan itu juga di kampungnya berdiri Yayasan Odesa Indonesia yang memiliki perhatian terhadap masalah kehidupan petani Kecamatan Cimenyan untuk urusan pangan, ternak, literasi dan teknologi. Dari situlah kemudian Rusmana juga aktif bergiat urusan sosial kemasyarakatan petani bersama pengurus Odesa Indonesia yang para pengurusnya terdiri dari Dosen, Jurnalis, dan kaum professional dari Kota Bandung.

“Di Odesa Indonesia saya mendapat job untuk mengembangkan pertanian Tanaman Obat. Ada grupnya, namanya Tanaman Obat Cimenyan (Taoci). Kegiatannya ada dua, yaitu pembibitan dan sosialisasi tanaman herba, Selain itu saya juga memegang urusan sosial untuk amal,” katanya kepada SH.Net, Senin 4 Juni 2018.

Ambil bagian dalam kegiatan pertanian itu Rusmana menemukan jalan baru dalam mengatasi kemiskinan di kampung-kampung Cikadut dan beberapa tetangga desanya, seperti Desa Mandala Mekar, Mekarsaluyu, Desa Cimenyan, Desa Sindanglaya dan Desa Mekarmanik. Ia mengawal budidaya tanaman obat dan tanaman pangan. 

Kelor (Moringa Oleifera) yang menjadi prioritas kegiatan diletakkan sebagai alat perbaikan kesehatan, ekonomi dan lingkungan. Ada juga pengembangan tanaman herbal lain seperti binahong, kumis kucing, daun afrika, dan lain sebagainya. Menurutnya, tanaman obat itu sangat penting dikembangkan di masyarakat karena masyarakat miskin butuh pangan yang berkualitas.

“Kita ini sudah kehilangan banyak aset tanaman yang dulu ada kini tidak ada seperti padi gogo. Pendidikan pertanian di Odesa Indonesia sangat aktif memanfaatkan internet dan terus melakukan ujicoba. Dari situlah banyak hal baru yang mudah dilakukan dan bisa diproses dengan cara yang paling mudah,” tuturnya.

Dengan inovasi penanaman, pembibitan, pasca panen dan marketing itu, Rusmana dan semakin semangat karena menemukan solusi baru. Bertani tidak semata urusan sayuran yang panen harus menunggu 3-4 bulan itupun belum karuan hasilnya. Sementara dengan model barunya yang dimulai dari pembibitan hingga urusan marketing, hasil ekonominya bisa lebih rutin. “Kecil kalau rutin dan kita rekap hitungannya dalam waktu empat bulan faktanya hasil lebih besar,” katanya.

Dalam pandangan pria beranak dua ini, sosialisasi tanaman baru sangat penting karena dengan tanaman baru itu model pasca panen dan marketingnya juga bisa lepas dari kebiasaan perdagangan petani. Sebab jika pertanian yang dikembangkan adalah sayuran akan urusan terjebak pada siklus perdagangan yang spekulatif dan tidak menguntungkan.

Sementara dengan tanaman obat menurut Rusmana justru bisa menciptakan market tersendiri. Ia mencontohkan misalnya, ada kegiatan pembibitan kelor dengan menyerap 7 petani dan juga bisa mendorong petani menanam kelor secara bertahap. Hasil penjualan bibit ini sudah tergolong menambah penghasilan petani antara Rp 400-600 ribu setiap orang tanpa perlu beralih dari pekerjaan semula. 

Belum lagi soal penghasilan pengolahan pasca panen menjadi teh kelor yang sangat laris dan selalu kurang pasokan karena belum seimbangnya antara hasil panen dengan kebutuhan konsumen di perkotaan. Kemudian bersama petani kelompok Himpunan Orang Tani Niaga (Hotani) juga ada kegiatan pertanian Bunga Matahari yang bibitnya sudah mulai menampakkan hasil.

Perbaikan pertanian pada keluarga petani Pra-Sejahtera (sangat miskin) menurut Rusmana diakui tidak mudah. Banyak petani yang melakukan usaha pertanian tanpa perhitungan dan ikut-ikutan. Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak aktifnya pemerintah mengurus pertanian menyebabkan petani sulit mengembangkan diri. Sementara bersama Yayasan Odesa Indonesia petani diajarkan manajemen, pencatatan, dan juga pengolahan pasca panen, termasuk marketingnya. Dari situlah terasa bahwa dalam masa dua tahun terjadi banyak perubahan.

“Perbaikan petani itu harus disertai tindakan bersama. Tidak bisa hanya kursus atau anjuran. Mesti melalui pendampingan yang telaten dan serba melayani, termasuk melayani kebutuhan beras dan kebutuhan  lainnya,” terangnya.

Dalam pandangan Rusmana, kegiatan pertanian yang dilakukannya bukan semata untuk satu arah ekonomi, melainkan juga harus mengarah urusan pada dua aspek lainnya, yaitu perbaikan pendidikan dan kesehatan. Ia mencontohkan misalnya, pada budidaya kelor para petani tidak diajarkan berpikir sekadar mendapatkan uang dari panen, melainkan untuk kesehatan. Karena kandungan gizinya yang bagus, pohon yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar dikembangkan sebagai tanaman pangan itu benar-benar dirasakan manfaatnya oleh para petani desa. “Banyak orang sakit yang sembuh setelah mengonsumsi kelor, “ kata Rusmana.

Rusmana mencontohkan, ada ibu-ibu yang kena kanker payudara kini sudah sembuh. Ada yang stroke lama kini sudah membaik kesehatannya. Ada yang juga terkena diabetes juga membaik tubuhnya. Untuk urusan penguatan gizi anak-anak juga dirasakan sangat bagus karena anak-anak tidak mudah terserang flue atau masuk angin. Sedangkan dalam urusan pendidikan, tanaman obat seperti ini bisa bermakna lebih jauh, yaitu mengenalkan setiap potensi tanaman tidak sekadar bernilai dagang, melainkan bernilai gizi.

“Seperti tanaman pohpohan misalnya, petani tahu itu bisa dimakan. Tapi kebanyakan tidak ngerti kandungan gizinya. Setelah kita sosialisasikan manfaat dari kandungan gizinya, mereka jadi lebih semangat mengonsumsinya,” jelasnya.

Setelah kelor berjalan, kini Rusmana dan teman-teman petani lainnya sedang menyiapkan penanaman Bunga Matahari yang memiliki nilai gizi dan kesehatan. Tanaman Sorgum dan Buah Tin juga disiapkan semaksimal mungkin.

“Kita mulai dari nol semua, yaitu pembibitan. Buat saya kegiatan pertanian bukan sekadar menanam, melainkan harus dari hulu, yaitu bibit, kemudian tanam ladang, dan pasca panen serta marketing. Itulah mengapa kita memilih kegiatan bersifat intensif, kecil tetapi terurus. Sedikit lambat tapi jelas hasilnya,” jelasnya. (Ani)

Sabtu, 10 Maret 2018

Kembang Telang, Jurassic Park dan Akar Yang Berjuang

Oleh : Bambang Haryanto



Hari bersejarah. Tanggal 8 November 2017.
Karakter Kembang Telang 

Habitus :  Semak, menjalar, panjang 3-5 m. 

Batang: membelit, masif, permukaan beralur, hijau. Daunnya majemuk, menyirip, lonjong, tepi rata, ujung tumpul, pangkal meruncing, panjang 4-9 cm, lebar 2-4 cm, tangkai silindris, panjang 4-8 cm, pertulangan menyirip, permukaan berbulu, hijau.

Bunganya majemuk, bentuk tandan, di ketiak daun, tangkai silindris, berwarna hijau, kelopak bentuk corong, panjang 1,5-2,5 cm, hijau kekuningan, tangkai benang sari berlekatan membentuk tabung, putih, kepala sari bulat, kuning, tangkai putik silindris, kepala putik bulat, hijau, mahkota bentuk kupu-kupu, ungu. 

Buah berbentuk polong, panjang 7-14 cm, bertangkai pendek, masih muda hijau setelah tua hitam. Bijinya berbentuk ginjal, masih muda hijau setelah tua coklat. Akarnya tunggang, putih kotor. (Sumber : Tanaman Obat Herbal). 

Tidak Butuh Perlakuan Khusus

“Budi daya bunga telang tidak membutuhkan perlakuan khusus. Tanaman ini mudah tumbuh dan semakin trubus  jika sering dipangkas dan dipanen. Bunga mulai muncul setelah sebulan tanam dan terus berbunga sepanjang tahun dan berumur panjang sampai  dua tahun.”  (Cerita Wardiyono, petani Kembang Telang dari Klaten, sebagaimana dimuat dalam harian Solopos, Minggu, 2 September 2018 : XI).

Kehidupan Mampu Menemukan Jalannya Sendiri


“Saya menanam kembang telang dengan memakai pot pralon yang vertikal. Bagian bawahnya saya tutup dengan lembaran plastik  yang dilubangi sebagai pori-pori untuk jalan air mengalir keluar. Pot pralon kemudian saya ikatkan ke pagar, agar tanaman kembang telang yang suka tumbuh merambat itu dapat memenuhi dan merimbun di pilar-pilar besi di pagar rumah saya.

Tumbuh subur. 9 Maret 2018.
Saya semula kuatir, apakah unsur hara dalam media tanam yang terbatas dalam pot pralon itu bisa mencukupi untuk menopang pertumbuhannya. Saya heran, ternyata kembang telang yang saya tanam pada tanggal 8 November 2017 itu, saat saya foto di 9 Maret 2018, ternyata bisa tumbuh baik. Daunnya rimbun. Rajin pula berbunga.

Belakangan saya baru tahu ketika melihat pangkal pot pralon. Ternyata akar kembang telang itu menembus lembaran plastik di dasar pot pralon itu. 

Selanjutnya akar tersebut  mengunjam ke tanah yang senyatanya permukaannya berlapis semen. Akar yang sungguh kuat dalam berjuang mencari sumber hara untuk  menopang kehidupan dirinya.

Momen itu membuat saya mudah ingat ucapan dalam film Jurassic Park (1993) : Life will find a way. Kehidupan akan mampu menemukan jalannya sendiri.”

Kamis, 15 Maret 2012

Growing Organic Rice a Bucket at a Time in East Jakarta

Grace Susetyo |
The Jakarta Globe, March 11, 2012
Source : Growing Organic Rice a Bucket at a Time in East Jakarta


Middle-school teacher Suhri helps students tend to rice plants. His Bucket Rice Club can produce three harvests a year, and each bucket can produce 100 to 300 grams of grain. (Photo courtesy of SMPN 209).

There are bright forecasts for Indonesia’s economy this year, but the prospects for its rice fields appear far dimmer. As the economy booms along, more and more rice fields are converted to housing estates and industrial areas, which could spell trouble for a country that lives on the grain as one of the biggest consumers of rice in the world.

A possible solution might lie in the hands of some teenagers. A group of junior high school students from SMPN 209 in East Jakarta is proving that organic rice can be grown in an urban setting by well-dressed kids.

The materials? Earth, cattle manure, buckets, water and Ciherang rice seedlings. The variety is ideal because it can be planted during both the rainy and the dry seasons. Additionally, the rice can be harvested about 110 days after the seeds are planted, which means there are about three harvests a year.

The cost? About Rp 5,000 (55 cents) per bucket, from which 100 to 300 grams of grains are produced. Recently, 30 kilograms of rice were harvested from SMPN 209’s 300-bucket project. Not bad for tweens aged 11 to 14, many of whom are first-timers at raising crops.

Suhri is the proud Bahasa Indonesia teacher behind the project. He learned about Ciherang rice back in 2007 on a trip home to Pangandaran in West Java, when his brother described a similar project going on in the village.

It was perfect timing because around that time Suhri had taken charge of SMPN 209’s re-vegetation project. Aside from planting rice, Suhri had very little farming experience but he was eager to make the project unique and memorable for his students.

Back in Jakarta, Suhri experimented with planting rice in buckets in his own yard before introducing the project at school. He quickly drew the students’ curiosity and interest and, gradually, their active participation. The project now sits on the concrete rooftop of the school’s musholla (prayer house), the fruits of the work of about 300 students.

“The Bucket Rice Club is so different from our other ones,” said Salsabila. a seventh grader. “Before, I thought that cultivating rice was dirty work that could only be done in a wet field. But here, we plant rice dressed in ties and shoes.”

Buckets are key to making rice cultivation much more efficient. “All the nutrients and water that the crop needs stay in there during its life cycle,” Suhri said. “This solves problems like the high cost of fertilizers, irrigation and agricultural pollution resulting from chemical runoff during rains.”

Although ripe crops occasionally attract birds, Suhri said pests were not a serious problem. To protect the plants from unwanted attention, they can be covered with a protective net or even relocated to a safer spot. This means that no pesticides are needed in the cultivation process.

Additionally, the low maintenance method means that even busy urbanites can squeeze raising crops into their hectic schedules. The project demonstrates the relative ease of producing organic rice from the comfort of a high-rise apartment’s balcony in Jakarta.

In the interest of creating solutions for a greener world, the Bucket Rice Club has also started planting some crops in recycled containers, such as coconut shells and plastic bottles. In addition to rice, the kids are currently experimenting with growing kangkung (water spinach).

Despite the relative ease and simplicity of the project, it does require diligence and perseverance. Suhri said the highlight of his experience had been teaching his students skills and values that will last a lifetime, such as respect for farmers and making responsible choices that help keep the earth green.

Salsabila said her experience cultivating rice had made her appreciate how hard farmers work. “Before, I used to take rice for granted and let leftovers go to waste,” she said. “Now I only take what I can finish.”

Suhri said he hoped SMPN 209’s Bucket Rice Club would become a model for the food security solution in Indonesia.

“In the future, I hope this club can grow to the point that we can provide enough rice for SMPN 209 students,” he said. “Other schools interested in bringing the Bucket Rice Project to their yards are more than welcome to come and learn from us.”

Tautan :

1. Panen Padi bersama, di SMPN 209 Jakarta.

2. Siswi SMPN 209 Jakarta Tanam Padi di Sekolah


Wonogiri,15/3/2012

Jumat, 09 Maret 2012

In East Java, home gardens help women cut food spending

Elly Burhaini Faizal
The Jakarta Post, Jakarta |
Fri, 03/09/2012 8:08 AM



A government initiative has helped women in Pacitan, East Java, reduce their individual household monthly food spending by Rp 195,000 (US$21.45) to Rp 700,000.

The program, Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), was designed to help rural women become self-sufficient in food production.

“Empowering rural women will be critical, as they are crucial partners in fighting hunger and poverty due to their key role in the food supply chain,” Yusni Emilia Harahap, a staff expert on environmental issues at the Agriculture Ministry, said.

The program promotes home gardens as a way for women to meet daily needs while reducing food expenditures.

“The model has been replicated in several areas and we hope that it can be expanded further with support from the Agriculture Ministry and other stakeholders who are concerned about food security,” Yusni said, adding that the project had been implemented at the local level in Central Java, East Java and South Sulawesi.

If successful and home gardens become widespread, the program would increase the nation’s food production and security, she added.

Yusni said that the agriculture sector was facing a heavy burden due to increased demand for food from a growing population.

“Amid limited food resources, it is crucial for us to maintain food sufficiency by making use of local resources,” she said during a discussion entitled “Empower Rural Women: End Hunger and Poverty”.

The program was held by the United Nations Information Center (UNIC) and the UN Population Fund (UNFPA) to mark International Women’s Day on March 8.

According to data from UNFPA, rural women comprise 25 percent of the world’s population, while the Food Agriculture Organization (FAO) said that women comprised half the global population of farmers.

However, women lacked resources, including financing, and less than 20 percent of all land owners were women, according to the reports.

Citing Agriculture Ministry data, Yusni said that the nation’s agricultural sector accounted for 15 percent of Indonesian GDP in 2010 and for 40 percent of the national work force.

Also at the conference, Dian Kartika Sari, secretary-general of the Indonesia Women’s Coalition for Justice and Democracy (KPI), said empowering rural women was a relevant issue for the nation.

Citing reports, Dian said 68,900 of Indonesia’s 70,000 urban and rural areas were villages. “It means that [more than] 95 percent of the areas in Indonesia are villages,” Dian said.

According to the Central Statistics Agency (BPS), the number of poor people in Indonesia reached 34.96 million people in 2008, 63 percent of whom lived in rural areas.

“The number of poor urban people are declining while the number of poor people residing in rural areas continue to soar. There is a huge development gap between rural and urban areas,” Dian said.

Meanwhile, Ita Nadia, a UN advisor to the Women’s Empowerment and Child Protection Ministry, said listening to and supporting rural women was fundamental to ending poverty and hunger and achieving peace and development that was sustainable.


Wonogiri, 9 Maret 2012

Sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2012/03/09/in-east-java-home-gardens-help-women-cut-food-spending.html

Senin, 06 Februari 2012

Jaga Ketersediaan Pangan, SBY Ajak Masyarakat Bercocok Tanam di Rumah

Rachmadin Ismail - detikNews
Selasa, 07/02/2012 13:20 WIB


Jakarta - Seiring bertambahnya jumlah penduduk muncul kekhawatiran soal ketersediaan pangan. Untuk mencegah kelaparan, perlu dilakukan semangat bercocok tanam di lingkungan masyarakat. Langkah itu bisa dimulai di pekarangan rumah sendiri.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memaparkan persoalan itu di depan ratusan peserta seminar Jakarta Food Security Summit yang digagas KADIN di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (7/2/2012).

Menurut SBY, angka pertumbuhan penduduk harus juga dibarengi dengan sistem ketahanan yang mumpuni.

Berdasarkan data FAO, penduduk dunia saat ini berjumlah 7 miliar dan diprediksi akan bertambah hingga 9 miliar di tahun 2045. Dengan angka tersebut, Indonesia setidaknya harus bisa meningkatkan produksi pangannya hingga 60 persen dari jumlah sekarang.

Bagaimana mencukupinya? SBY memberi contoh kondisi masyarakat di Pacitan, Jawa Timur. Di kampung halaman SBY tersebut, masyarakat sudah aktif bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya mulai di rumah sendiri.

"Di sana rumahnya kecil-kecil, tapi sudah menanaman tanaman pangan seperti tomat, cabai dan sayuran," ucap SBY.

"Kalau rumah tangga didorong seperti ini, bisa berkaitan dengan ketahanan pangan atau food security," sambungnya.

Selain itu, SBY juga mencontohkan beberapa kondisi di daerah lain, seperti Yahukimo, Papua, kampung nelayan, hingga nasib para petani bawang di Brebes. SBY menyimpulkan, perlu ada perbaikan teknologi dalam bercocok tanam, khususnya untuk daerah yang memiliki persoalan cuaca.

Tidak hanya itu, insentif bagi para petani juga harus menjadi perhatian penting. Bila itu tidak dilakukan, maka mau tidak mau, permintaan dan ketersediaan barang bakal tidak seimbang.

"Kalau insentif kecil, petani tak mau menanam. Ini mempengaruhi supply," tegasnya.

Karena itu, SBY kembali mengingatkan pentingnya menjaga ketersediaan pangan di Indonesia. Kalangan pengusaha yang tergabung di KADIN juga diminta supaya terus memperhatikan sektor agribisnis.

"Marilah kita tidak lengah dan sungguh serius untuk menemukan cara efektif untuk mengatasi masalah itu. Jadikan krisis sebagai peluang," pesan SBY yang tampil berbatik ini.

(mad/aan)

Sumber : DetikNews, 7 Februari 2012

Jumat, 22 April 2011

Wisata, Ya Berusaha

Oleh : Ratih Prahesti Sudarsono dan Neli Triana
Harian Kompas, Sabtu, 23 April 2011


Selain sekadar mengisi hari libur, banyak keuntungan yang bisa didapat dari bermain ke tempat-tempat agrowisata. Pelatihan bercocok tanam dengan cara mudah dan tidak perlu lahan luas ini pasti bisa langsung dipraktikkan dengan mudah di rumah, sepulang dari jalan-jalan.

Bahkan, keterampilan baru yang didapat dari jalan-jalan ini juga bisa menjadi modal untuk membuka usaha baru di rumah.

Saat berada di Parung Farm, pengunjung tidak hanya diajari cara bertanam, tetapi juga diberi pengetahuan tentang hitung-hitungan ekonomis seandainya mau lebih jauh menjadikan hidroponik sebagai usaha rumahan.

”Hasil produksi pohon cabai, tomat, atau selada bisa dijual di lingkungan tetangga, atau benar-benar membuka perkebunan sayuran hidroponik,” kata Agus Sunaryanto, sarjana ekonomi dan praktisi pertanian, yang mengantar pengunjung keliling Parung Farm.

Parung Farm juga menjual berbagai perangkat peralatan untuk memulai menanam secara hidroponik. Yang sudah pernah menjalani pelatihan tetapi belum juga berhasil mempraktikkannya di rumah boleh kembali ke Parung Farm untuk menimba ilmu lagi. Mereka memberi garansi.

Meminta bantuan teknisi Parung Farm datang ke rumah untuk memeriksa kebun hidroponik milik kita yang sedang bermasalah pun mereka layani dengan senang hati. Konsultasi dengan para ahli tanaman juga disediakan bagi pengunjung di Pasirmukti dan Tanah Tingal.

Ketiga pengelola tempat wisata itu memang memiliki prinsip berbagi ilmu dan mengampanyekan hobi bertanam. Mewabahkan hobi bertanam secara mudah dan menyenangkan ini sekaligus untuk menularkan kesadaran agar melestarikan tanaman-tanaman khas Indonesia atau tanaman yang sudah langka. Tanah Tingal, misalnya, memiliki moto ”konservasi demi kelestarian hidup”.

”Iya, (dengan hidroponik) kita jadi tidak perlu mencangkul tanah. Menyiram pun tidak perlu kalau sekaligus dibuat sistem penyiraman otomatis. Kita tinggal memberi pupuk yang tepat dan mengamati pertumbuhannya. Buat usia seperti saya, tentu enak, tidak harus keluar tenaga banyak dan tetap bersih saat berkebun,” kata Susilo (56), warga Depok yang ditemui saat mengikuti pelatihan di Parung Farm, Kamis (21/4).

Susilo juga merasa, berkebun itu sangat menenteramkan hati dan menyegarkan kehidupan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/03534570/wisata.ya.berusaha